Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 365)

Sabtu, 31 Desember 2022
Views


Oleh, Dalem Tehang 

 

SETELAH melepaskan pelukannya, sipir itu bergerak meninggalkan jeruji besi kamarku. Tanpa bicara apapun. Kap Yasin dan pak Waras memandangiku dengan tatapan penuh tanda tanya.


“Kenapa ngelihatnya kayak gitu ya?” tanyaku, sambil menatap keduanya.


“Aneh aja, om. Sipir tadi kan garang bener waktu awal dateng. Mukulin tongkatnya ke jeruji besi aja dengan emosi. Aku lihat juga, dia genggem tangan om kenceng dan lama. Tapi, kok ujungnya dia minta maaf bahkan meluk om,” ujar kap Yasin.


“Aku juga nggak tahu kenapa bisa gitu, kap. Disyukuri ajalah, orang yang semula tampil garang, berubah jadi lemah lembut,” sahutku, dengan tersenyum.


Kap Yasin tampak tidak puas dengan jawabanku. Namun, tidak ada kata lagi yang terucap dari mulutnya.


“Kalau aku beda ngelihatnya, be. Sipir tadi kan kasih tahu, kalau dia habis pergoki orang yang gantiin babe di kamar 20, lagi mabuk-mabukan dengan miras. Aku bersyukur, babe sudah dipindahin Allah kesini. Jadi nggak kena masalah baru,” tutur pak Waras dengan wajah cerah. 


“Alhamdulillah ya, pak. Ada aja cara Allah buat selametin aku. Walau emang, awalnya aku nggak ikhlas digeser dari kamar terbuka itu. Apalagi, istriku sudah bayar sampai jutaan rupiah. Malah akhirnya aku masuk ke kamar yang isinya belasan orang kayak gini. Tapi inilah rahasia dibaliknya, ternyata Allah nyelametin aku. Yang aku sayangin, kenapa Rudy yang selama ini sudah baik, taat solat, malahan ikut-ikutan mabuk,” kataku, panjang lebar.


“Nggak mudah emang nahan godaan duniawi itu, om. Apalagi kalau dulunya emang sudah biasa minum-minuman keras dan sebagainya. Aku ngalami dan ini pengalamanku sendiri. Butuh waktu panjang dan keteguhan mental juga pikiran, selain lingkungan yang ngedukung,” tanggap kap Yasin.


“Bener itu, om. Kayak kita yang biasa ngerokok, kan nggak bisa langsung berhenti. Harus pelan-pelan, juga ada niat yang kuat, dan lingkungan perokok juga mesti kita hindari. Jadi, kalau Rudy kebawa sama orang baru di kamar 20 itu, nurut aku sih, nggak perlu heran. Dia masih sangat muda dan baru beberapa waktu aja deketin diri sama Tuhan, utamanya setelah om di kamar itu,” pak Ramdan menimpali. 


Aku hanya diam sambil sesekali menganggukkan kepala. Perkataan kap Yasin dan pak Ramdan memang ada benarnya. Sesuatu apapun memerlukan proses. Tidak ada yang instan. Apalagi menyangkut perubahan perilaku.


Waktu terus bergerak, malam semakin kelam. Sesekali terlihat sinar kilat berseliweran di atas awan. Tanpa diiringi gemuruh suara petir. Angin malam mengencang, menggoyangkan beberapa tanaman di taman depan kamar. Suasana rutan mulai sepi, banyak penghuninya yang telah terbuai mimpi. 


Aku berpamitan untuk masuk ke ruang dalam, merebahkan badan. Setelah membersihkan dan merapihkan seprai kasur, ku bujurkan badan. Lantunan doa tidur ku bacakan, pelan. Mata terpejam.


Namun, pikiran masih belum mau dibawa dalam peristirahatan, justru bergerak lincah, berkelana kemana-mana. Menyapa sosok istri dan anak-anak kebanggaan, yang telah tergolek dalam tidur penuh kelelahan atas himpitan lelakon yang mesti ku jalani pada sebagian kisah kehidupan dengan mendekam di dalam rutan.


Dan perlahan, air dari mataku mengalir di pipi kiri kanan. Tangisan batin nan menyesakkan, tanpa suara apalagi jeritan. Hingga akhirnya, aku memasuki alam peniduran dengan membawa sejuta kegundah-gulanaan dalam bungkus kepedihan. 


“Be, sudah subuh,” terdengar suara pak Waras membangunkan, disertai tepukan pelan di telapak kaki. Aku pun tersadar kembali dari kematian sesaat. 


Setelah merasa nyawa telah utuh kembali menyatu dengan raga, baru aku bergerak turun dari kasur, dan langsung ke kamar mandi. Berwudhu. Seperti biasa, hanya aku, pak Waras, Anton, dan pak Ramdan yang berjamaah solat Subuh. Tujuh kawan lainnya masih terbuai dalam lelapnya tidur. 


Seusai solat, aku duduk di ruang depan. Di bidang tempat pak Waras tidur, yang berhimpitan dengan beberapa kawan lain yang masih terlelap. Pak Ramdan membuatkan kami minuman hangat. Untukku kopi pahit dan teh manis bagi pak Waras. 


Dari loker, aku keluarkan beberapa makanan ringan yang dibawakan istriku, Laksmi, saat berkunjung. Menjadi teman menyeruput minuman hangat pada pagi hari yang masih diliputi suasana dingin itu. 


“Kadang-kadang kita nggak tahu harus berbuat apa setelah bangun tidur ya, be,” tiba-tiba pak Waras membuka pembicaraan. 


“Bukan kadang-kadang dong, pak. Tapi emang rutin kan. Paling, ya cuma minum anget gini yang bisa kita lakuin, sambil ngelamun. Mau keluar juga nggak bisa. Masak mau tidur lagi terus tiap pagi, lama-lama penyakitan malahan,” tanggapku, dengan santai.


“Aku sering bayangin, kalau di rumah, habis solat subuh, langsung ambil sapu dan bersih-bersih halaman. Kasih makanan burung, ayam, dan bebek. Sambil ngerapihin taneman di samping rumah. Tahu-tahu waktu sudah makin siang dan badan sudah segeran karena dibawa bergerak. Begitu disini, setiap habis subuh, langsung bete,” kata pak Waras lagi.


“Mau kayak mana juga, kita emang harus mau bersahabat dengan kondisi yang ada, pak. Biar nggak terus-terusan bete. Dan banyak yang bilang, masa-masa sulit kayak gini, bakal ngajari kita bagaimana terus jadi kuat dan berharap cuma sama Yang Di Langit,” sahutku. 


“Nrimo kenyataan itu emang nggak gampang ternyata ya, be. Jujur, aku sering nangis diem-diem kalau pas mau tidur. Kan sebelum merem, mata pasti natap plafon, pikiran kemana-mana. Nah, saat itu aku pasti nangis. Alangkah nelongsonya hidupku ini,” ucap pak Waras dengan suara bergetar. 


Aku terdiam. Tidak menduga bila pak Waras yang selalu tampak tegar, tenang, dan terus mengurai nilai-nilai kebaikan untuk kami dengan penuh keceriaan, ternyata juga mengalami deraan batin yang tidak ringan. 


“Manusiawi aja kalau kita sedih dan nangis itu, pak. Asalkan jangan sampai buat drop secara lahiriyah dan raguin atau bahkan nyalahin Tuhan dengan takdir ini,” kataku, mencoba mengimbangi pengakuan jujur pak Waras.


“Babe emang sering juga ya, tiba-tiba nangis diem-diem gitu?” tanya pak Waras dengan menatap wajahku.


“Seringlah, pak. Dan aku kira, semua tahanan disini pasti sering juga nangis. Rasa sedih, sakit di hati, dan ngerasa terpuruk itu kan ekspresi utamanya pasti lewat tangisan. Jadi, nurut aku, nangis itu sesuatu yang lumrah aja,” jawabku, tetap dengan santai. 


Tiba-tiba pak Ramdan duduk di antara aku dan pak Waras. Sambil memijat-mijat kepalanya, pria berambut putih itu mengaku tengah didera sakit kepala hingga membuat badannya bergetaran, selain badannya diserang demam.


Buru-buru aku membuka loker dan mengambil tempat obat-obatan. Aku beri pak Ramdan obat untuk meredakan sakit kepala dan demamnya. Dengan segera, ia meminumnya. Dan kembali duduk di antara kami sambil menyandarkan badannya ke tembok.


“Apa lagilah dosaku ini, kenapa belakangan sering bener sakit kepala sampai nggak karuan rasanya, dan pasti langsung diikuti demam,” ucap pak Ramdan, sambil meringis menahan rasa sakit.


“Istighfar aja banyak-banyak, pak. Istighfar dalam hati, jangan berhenti. Juga, tenangin jiwa dan pikiran. Kedua penyakit ini sebenernya justru penggugur dosa. Jadi sebaiknya, jangan dikeluhin kehadirannya,” kata pak Waras, dengan menatap pak Ramdan.


“Maksudnya penggugur dosa itu gimana, pak?” tanya pak Ramdan, terus memijat-mijat kepalanya.


“Ada sebuah hadits yang menyatakan, Nabi Muhammad SAW bersabda: sesungguhnya sakit kepala dan demam akan mengiringi seorang mukmin, walaupun dosanya seperti gunung Uhud, sehingga kedua penyakit tersebut tidak meninggalkan dosa pada mukmin itu walaupun sekecil biji sawi. Gitu sabda Nabi. Maka aku bilang tadi, penyakit pak Ramdan ini jadi penggugur dosa. Disyukuri aja dengan terus baca istighfar,” urai pak Waras. (bersambung)

LIPSUS