Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 366)

Minggu, 01 Januari 2023
Views


Oleh, Dalem Tehang


KALAU sudah sakit kayak gini, rasanya pengen mati aja,” tukas pak Ramdan, dengan nada geram dan kesal.


Pak Waras tertawa mendengar perkataan pak Ramdan. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.


“Kok malah ketawa sih, pak. Beneran lo yang aku sampein tadi. Kalau lagi dateng sakit kepala sama demam gini, rasanya lebih baik mati aja,” ujar pak Ramdan dengan wajah serius.


“Aku ketawa, karena omongan pak Ramdan yang pengen mati itu lo. Kalau mau jujur, sebenernya pak Ramdan belum mau atau bahkan nggak mau mati kan?” kata pak Waras, sambil tersenyum.


Pak Ramdan hanya terdiam. Wajahnya menegang. Matanya mendadak menatap nanar. Ada gulatan amarah disana.


“Ya maaf kalau omonganku kurang sopan, pak. Tapi, banyak orang yang sering bilang aku pengen mati ajalah, apa bener dia sudah pengen mati? Sebenernya nggak juga, pak. Omongan itu sekadar buat akhiri lelahnya ngadepi masalah, bukan ngakhiri hidupnya,” lanjut pak Waras, dengan nada santai. 


“Iya juga sih, omonganku tadi kan karena emosi dan frustrasi aja, pak. Lagian, urusan mati itu rahasia Tuhan, mau kita pengen mati seribu kali, kalau tulisan umur kita belum waktunya, ya nggak mati-mati juga,” tanggap pak Ramdan, kali ini dengan nada datar dan wajahnya telah kembali tenang.


“Bener itu, pak. Selain urusan jodoh dan rejeki, soal mati emang rahasia Ilahi. Nggak ada yang bisa ngeramalnya. Dan sebenernya, kebanyakan kita emang takut sama kematian. Padahal, aku pernah denger ceramah seorang ustadz, mati itu lebih baik daripada fitnah. Seperti juga kita takut hidup miskin, padahal miskin itu lebih ringan untuk dihisab,” urai pak Waras.

 

“Ngapain dari tadi ngomong soal mati sih. Coba obrolan itu yang buat hati semangat, terus bergembira. Nanti malem kan Malem Tahun Baru, waktunya buat kita ngebangun tekad baru,” mendadak kap Yasin masuk ke ruang depan dan langsung ndeprok di dekat kami bertiga. 


“O iya ya. Nanti Malem Tahun Baru ya. Ada acara nggak disini, kap,” kataku, menyela.


“Nggak ada acara apa-apalah, om. Paling juga, masing-masing blok atau kamar aja buat acara sendiri. Itu juga kalau mau,” jawab kap Yasin, dengan santai.


“Jadi, disini nggak pernah ada acara khusus nyambut Tahun Baru ya, kap?” pak Ramdan, bertanya.


“Tahun lalu, ada acara dangdutan di lapangan pas Malem Tahun Baru. Datengin tiga artis terkenal. Tingkat lokalan sini aja sih. Semua tahanan dikasih izin keluar kamar. Joget semalem suntuk. Semarak pokoknya,” kata kap Yasin.


“Kok sekarang nggak ada acara apa-apa, kap?” tanyaku.


“Waktu pergantian tahun lalu itu, semua biayanya ditanggung seorang napi yang emang berduit. Napi kasus manipulasi perbankan. Duitnya emang nggak berseri. Sampai-sampai taman bagus-bagus di sekitaran lapangan, dia semua yang biayai pembuatannya. Selama setahun lebih disini, ratusan juta dia keluar uang, termasuk buat datengin artis-artis pas Malem Tahun Baru itu,” jelas kap Yasin. 


“Kok orang itu masih banyak duit aja ya sudah di dalem sini?” celetuk pak Ramdan.


“Dia kan terus kerja walau disini, pak. Terus aja kepinterannya ngadali duit-duit di bank dipindah ke rekening yang sudah dia siapin. Aku nggak tahu gimana caranya. Makanya, semua hormat sama dia. Karena nggak pelit juga. Bahkan kabarnya, semua pejabat, pegawai sampai sipir di rutan ini, rutin dia kasih jatah. Sawerannnya kenceng,” lanjut kap Yasin.


“Terus orangnya dimana sekarang, kap?” tanya pak Waras, penasaran.


“Sudah bebaslah, pak. Ya, nggak tahu lagi dia ada dimana. Yang aku kagumi, dia bener-bener nggak pelit. Siapa aja yang dateng dan minta duit, pasti dikasihnya. Apalagi kalau buat makan, atau ngirim buat istri dan anak di rumah. Tapi, nggak ada satu pun orang disini yang dia ajari cara kerjanya maling duit dari bank yang dikerjainnya selama ini. Profesional benerlah orang itu. Dan itulah yang buatku kagum,” tutur kap Yasin lagi.


“Ya sudah bener kalau dia nggak pelit, kap. Ibaratnya, dia dapet duit setan dimakan tuyul,” sahut pak Ramdan, dan tertawa ngakak.


Spontan, kami semua tertawa. Dan mentertawakan sesuatu yang melingkari kehidupan diri sendiri, memang terasa lebih segar. 


Sesaat kemudian, pak Ramdan berdiri, untuk membuatkan minuman hangat kopi manis bagi kap Yasin. Ia menawariku kopi pahit, tidak aku tolak maksud baiknya. 


“Kenapa seneng bener sama kopi pahit sih, om?” tanya kap Yasin, ketika secangkir kopi tanpa gula ditaruh pak Ramdan di lantai depan tempat dudukku. 


“Ngirit aja sih, kap. Kan nggak perlu beli gula,” sahutku, dan tertawa ngakak.


“Serius dulu, om. Jangan kebanyakan nyeleneh gitulah,” ucap kap Yasin, juga sambil tertawa.   


“Sebenernya, ya karena ngerasa lebih enak aja minum kopi pahit itu, kap. Lebih alami gitulah. Aku pernah diingetin kawan, kalau nggak siap sama pahitnya kopi tanpa gula, berhentiin keingintahuanmu, biar manisnya aja yang kamu ketahui dan nikmati,” jawabku.


Kap Yasin, pak Waras, dan pak Ramdan mengangguk-anggukkan kepalanya. Mencoba menelaah perkataan kawanku, yang sesungguhnya, aku sendiri tidak bisa mendapatkan maknanya. Karena kenyataannya, memang tidak semua hal di dalam kehidupan ini harus kita pahami.


Seorang tamping kebersihan berdiri di balik jeruji besi. Menyerahkan satu bungkus makanan untuk aku sarapan.


“Dari siapa?” tanyaku. Saat menerima bungkusan tersebut.


“Titipan Rudy, om,” jawab tamping itu.


“Emang Rudy dimana, biasanya dia sendiri yang nganter,” kataku lagi.


“Dia tadi emang mau kesini, tapi pas keluar kamar, dibawa sama sipir ke pos,” jelas tamping.


Aku terdiam. Ingat kembali perkataan sipir yang datang ke kamarku tadi malam. Bila di kamar 20 dipergoki ada tahanan tengah mabuk-mabukan, dan Rudy ikut di dalamnya. 


“Bakal masuk strafsel kayaknya si Rudy itu, om,” kata kap Yasin, setelah aku duduk kembali di tempatku.


Aku hanya mengangkat bahu. Tidak berani memberi jawaban apapun. Karena di dalam hati, aku berdoa agar Rudy diberi keselamatan separah apapun ia melakukan pelanggaran di dalam rutan. 


“Setahuku, Rudy itu sebenernya anak baik, bahkan polos. Waktu om Mario masih di kamar 20, dia rajin solat, juga ngaji. Bawaannya juga sopan. Tapi, karena temennya sekarang punya karakter nggak baik, ya dia kebawa arusnya,” kata kap Yasin.


“Pengaruh temen emang luar biasa besar buat diri kita, kap. Makanya, aku pengen ngajak kita semua buat perbanyak temen yang baik. Setidaknya, kalau temen itu baik, waktu ada kabar kematian kita sampai ke telinganya, dia akan doain kebaikan buat kita,” ujar pak Waras, menimpali. 


“Nah, ujung-ujungnya obrolan kita ke urusan kematian lagi. Kenapa jadi muter-muter ke soal itu terus ya,” tanggap kap Yasin dengan cepat, dan langsung diiringi tawanya. 


Tanpa dikomando, kami pun kembali tertawa. Dan akhirnya sama-sama menyadari, betapa putaran perbincangan ringan pagi hari ini tetap bermuara pada soal kematian. Sebuah peristiwa yang pasti bakal dialami semua manusia. Yang waktunya merupakan rahasia Sang Penguasa Semesta. 


Setelah meminta izin untuk sarapan yang dikirimkan Rudy, aku pun menikmati nasi uduk sambil terus mendengarkan kawan-kawan berbincang. Terutama membahas mengenai Rudy yang terjebak dalam perbuatan melanggar aturan di rutan.


“Ya, mungkin Rudy tergantung sama kawan barunya itu. Bisa aja, buat dia makan, ditanggung sama orang itu. Makanya, dia nggak bisa nolak pas diajak minum-minuman keras,” kata kap Yasin.


“Emang susah kalau sudah urusan perut, kap. Kawanku pernah bilang: duluin malu daripada perlu. Kecuali kalau kita sedang laper, duluin perlu dari rasa malu,” kata pak Ramdan. 


“Siapa sih kap, orang yang baru masuk kamar 20 gantiin babe itu?” tanya pak Waras.


“Aku juga nggak kenal, pak. Cuma informasi yang ku denger, dia selama ini preman pasar. Masuk penjara karena nusuk pedagang yang nggak mau bayar uang salar. Kabarnya juga, waktu itu dia lagi mabuk berat,” jawab kap Yasin.


“Bakalan rusak kalau lama-lama Rudy bergaul sama orang itu, kap. Dia kan masih polos, nanti kebaikan hatinya bisa kalah sama syahwat ajakan seneng-seneng lahiriyah dunia,” kata pak Waras, dengan suara serius.


“Kalau soal Rudy, biar om Mario yang nasihati. Kelihatannya Rudy itu patuh bener sama om Mario,” sahut kap Yasin, sambil memandangku dan tersenyum. (bersambung)

LIPSUS