Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 367)

Senin, 02 Januari 2023
Views


Oleh, Dalem Tehang


SAAT kami masih asyik berbincang, datang Dino dan Basri. Berdiri di balik jeruji besi. Kap Yasin langsung bangun dari tempat duduknya dan bicara perlahan dengan kedua napi penanggungjawab Blok B tersebut.


Tampak beberapa kali kap Yasin menggeleng-gelengkan kepalanya, di sela-sela bicara mereka yang sangat pelan. Sekitar 10 menit kemudian, Dino dan Basri pergi dan menuju ke kamar 31, di sebelah sel kami.


“Mau apa Dino sama Basri tadi, kap?” tanya pak Ramdan, yang tampak penasaran.


“Ngajak sokongan buat Malem Tahun Baruan nanti. Masing-masing kamar Rp 300 ribu,” kata kap Yasin yang kembali duduk di tempat semula.


“Terus apa kata, kap?” tanya pak Ramdan lagi. 


“Aku sampein kalau kamar kita nggak ikut acaranya. Nggak mungkin kita sokongan sebanyak itu, pak. Yang belum bayar uang mingguan aja masih banyak,” jelas kap Yasin. Nada suaranya tegas.


“Emang apa acaranya, kap?” tanyaku, yang juga mulai penasaran.


“Mau bakar-bakar ikan, om. Sudah ada sipir yang siapin ikannya. Nanti malem dibakar bareng-bareng per-blok di deket lapangan. Juga, disiapin terompet dan aksesoris lain gaya Malem Tahun Baru itulah,” urai kap Yasin.


“Kenapa nggak kap bilang sama Dino dan Basri, kalau urusan acara itu mau dibicarain dulu sama kawan-kawan, kok langsung mutusin kalau kamar kita nggak ikut acaranya,” lanjutku.


“Maaf, om. Bukan aku nggak ngehargai pendapat kawan-kawan. Tapi, aku lebih tahu kondisi mayoritas kawan di kamar kita. Lagian, ngapain kita ikut-ikut ngerayain Malem Tahun Baruan, nggak jelas manfaatnya. Sadar diri aja, kita ini lagi di penjara, nggak usahlah gegayaan kayak hidup di luaran,” tutur kap Yasin, dengan suara serius. 


Aku terdiam. Penuturan kap Yasin menandakan ia memiliki kedewasaan yang telah matang dalam menilai kegiatan yang layak diikuti penghuni kamar dan mana yang tidak diperlukan. Karena semua aktivitas apapun, berisiko dengan menambah pengeluaran uang. 


“Jadi, kita nggak ada acara apa-apa Malem Tahun Baruan ini ya, kap?” tanya pak Ramdan lagi. 


“Gimana pak Waras aja, ada nggak idenya,” sahut kap Yasin, sambil memandang pak Waras, yang sejak tadi hanya diam dan mendengarkan perbincangan.


Cukup lama kami semua diam, sambil memandang ke arah Pak Waras yang duduk bersandar di tembok dengan santainya. Kami menunggu pria seumuran denganku itu menyahuti perkataan kap Yasin. 


“Aku sepakat sama keputusan kap, kita nggak perlu ikutan acara nanti malem itu. Bukan cuma soal sokongannya yang berat, tapi manfaatnya juga nggak ada. Nurut aku, baikan setelah makan malem, kita ngaji dan berdoa. Terus deketin diri sama Tuhan, nurut aku, lebih baik ketimbang kita hura-hura cuma buat makan ikan bakar bareng-bareng,” kata pak Waras, beberapa saat kemudian.


“Sepakat aku, pak Waras. Nanti aku yang beli gorengan buat kita nikmati bareng-bareng setelah ngaji dan doa nyambut Tahun Baru,” tanggap kap Yasin dengan cepat.


Waktu terus berlalu, hingga solat Maghrib berjamaah kami lakukan seperti biasanya. Setelah sempat melanjutkan membaca Alqur’an, aku tergerak untuk menghubungi istri dan anak-anakku.


Duduk di pojok kasurku, telepon genggam pun ku aktifkan. Dan beberapa saat kemudian, telah ku sapa wajah istriku Laksmi melalui videocall.


“Assalamualaikum, bunda. Sehat teruskan,” ujarku, sambil menebar senyuman.


“Waalaikum salam, ayah. Alhamdulillah, bunda dan anak-anak selalu sehat berkat doa ayah. Inshaallah, ayah juga selalu sehat ya,” sahut istriku dengan suara yang ceria.


“Alhamdulillah, ayah sehat juga, berkat doa bunda dan anak-anak yang nggak pernah berhenti. Bunda sama anak-anak ada acara apa Malem Tahun Barunya,” kataku.


“Nggak ada acara apa-apa, ayah. Tadi bunda sudah beli beberapa makanan ringan aja, di antaranya martabak sama roti, buat nemeni kami nonton tivi nanti malem ini,” jawab istriku.


“O, nggak keluar to. Jalan-jalan, nikmati keramaian orang mau nyambut Malem Tahun Baru,” ucapku lagi.


“Nggak ayah. Enakan di rumah aja. Lagian, kalau jalan-jalan gitu nggak ada ayah, rasanya nggak enak. Bunda sama anak-anak nggak bisa nikmatinya tanpa ayah,” tutur istriku. Suaranya berubah, parau. Menahan kesedihan. 


“Ayah kan selalu bersama bunda dan anak-anak. Rasa sayang, bangga, dan doa ayah dampingi kalian semua. Cuma raga aja yang berjauhan,” tanggapku.


“Kami tahu itu, ayah. Cuma, ada kalanya, keberadaan raga ayah sangat kami butuhin. Apalagi saat pengen jalan-jalan ngelihat keramaian, kami nggak bisa nikmati apapun tanpa ayah di sisi kami,” sambung istriku, sambil mengusap air yang menetes dari matanya. 


Aku langsung terdiam. Jiwaku bergemuruh. Tidak menentu. Haru, sedih, sakit nan menyayat itu menyatu. Perasaan yang menyesakkan tersebut menyeruak kencang. Menghimpit dada. Membuat tarikan nafas menjadi berat.


“Ayah jangan berat-berat mikirnya ya. Nanti ayah malah sakit. Kami semua sabar dan ikhlas kok sama takdir ini, ayah juga yang legowo ya,” kata istriku, yang memahami betapa jiwaku tengah bergejolak tidak menentu. 


“Maafin ayah ya, bunda. Juga sampein maaf ayah sama anak-anak,” jawabku, dengan pelan.


“Iya, ayah yang tetep tenang ya. Kami semua maafin kesalahan ayah kok. Terus aja istighfar, Allah pasti juga ampuni dosa dan kesalahan ayah. Nggak ada yang perlu diberatin, karena yang ngelebihi kemampuan kita ngatasinya, nggak bakal dateng dalam hidup kita,” tutur istriku, seraya memberi senyum manisnya.


Ucapan diiringi senyum manis Laksmi, membuat jiwaku perlahan kembali tenang. Pikiran pun terkendalikan. Suara adzan Isya mengakhiri videocall kami. Dengan janji, nanti tepat pergantian tahun, kami berkomunikasi lagi. (bersambung)

LIPSUS