Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 369)

Rabu, 04 Januari 2023
Views


Oleh, Dalem Tehang


SEPENDAPAT aku sama yang disampein pak Waras itu, Anton. Aku pernah baca buku soal teori kehidupan. Disana ditulis, waktu banjir dateng, ikan akan makan semut, tapi saat sungai kering, semut yang makan ikan. Intinya, kehidupan itu kasih kesempatan buat semua makhluk di bumi, tinggal kita nunggu, kapan giliran kita. Dan saat ini, kita bisa nikmati banyak makanan sama minuman enak, berkat sipir Almika. Nanti, dia akan dapetin kenikmatan juga dari budi baiknya, walau belum tentu dari kita. Semesta pasti bergerak sesuai perbuatan kita,” ujar kap Yasin, menimpali.


Pak Ramdan tiba-tiba mengangkat tangannya. Kami semua spontan melihat ke arah pria dengan rambut telah memutih semua itu.


“Ada apa, pak?” tanya kap Yasin.


“Mau ikutan ngomong, bolehkan,” kata pak Ramdan dengan hati-hati.


“Mau ngomong, ya ngomong aja, pak. Kita ini kan ngobrol santai. Jangan seriusan gitulah. Kebiasaan waktu masih jadi pejabat, jangan terus dibiarin jadi karakter. Nanti pak Ramdan repot sendiri,” tanggap kap Yasin, seraya tertawa.


“Ya nggak gitulah, kap. Aku kan OD di kamar ini. Jongos kasarnya. Nggak pantes kalau tiba-tiba nimpali kawan-kawan yang lagi ngomong,” ucap pak Ramdan, ada nada getir pada suaranya.


“Subhanallah, jangan bilang gitu, pak. Kita semua ini sama. Tahanan semua. Soal jadi OD atau kap kamar itu, kan cuma istilah bagi tugas aja. Janganlah terus kecil hati gitu ya. Pak Ramdan kan mantan pejabat, pasti punya mental yang kuat, ayo keluarin mental tangguhnya. Kami semua sayang sama pak Ramdan,” kata kap Yasin, sambil menatap pak Ramdan yang  menundukkan wajahnya. 


“Ya maaf, kap. Belakangan aku agak sensitif emang. Sering kadang-kadang pengen nangis, kadang ngerasa nggak ada guna lagi hidup ini. Maaf yang kawan-kawan semua kalau aku jadi melo. Malu sebenernya ngakui ini, kap. Aku kan paling tua di kamar ini, tapi malah kayak anak kecil bawaannya,” sambung pak Ramdan, dan tangannya mengusap kedua matanya yang berlinang air mata.


“Kami semua faham kok apa yang pak Ramdan rasain saat ini. Tapi, pak Ramdan perlu tahu, di saat kita terpuruk kayak ginilah kita lebih mudah ngenali temen baik atau penghianat. Ini kebalikan dari saat kita lagi berjaya. Kalau kita lagi gagah, temen baik itu biasanya malah akan sembunyi dan jaga jarak sama kita. Yang selalu deket sama kita itu, bukan temen yang sebenernya, tapi orang-orang yang cari manfaat aja,” tutur pak Waras, ikut menyampaikan komentar. 


Suasana yang semula penuh keceriaan, sempat berubah menjadi haru dengan perkataan pak Ramdan. Namun, kap Yasin dengan kepiawaiannya mampu mengembalikan situasi.


“Coba Anton, ajak kawan-kawan nyanyi sambil gendangan dari galon. Kita sambut pergantian tahun dengan nyanyi aja,” kata kap Yasin.


Sontak, suara nyanyian sumbang pun bergema dengan kencangnya dari kamar kami. Semua penghuni melupakan kesusahan hatinya. Mencari titik-titik kebahagiaan haruslah diciptakan sendiri, dan kami sangat memahami itu.


Waktu terus bergulir, pergantian tahun semakin dekat. Beberapa kamar telah dibuka gemboknya oleh tamping kunci, dan penghuninya keluar untuk berkumpul di tepi lapangan. Menikmati acara bakar ikan bersamaan dengan pertambahan bilangan tahun.


“Nggak keluar ya, be,” kata pak Edi ketika melewati kamar kami, dan berdiri di balik jeruji besi.


“Nggak, pak. Kami nggak ikut acara bakar ikan. Nggak kuat sokongannya,” sahutku, dan berdiri di depan pak Edi.


“O gitu. Nggak apa-apa ya nggak ikut acara nanti,” ujarnya dengan mengernyitkan dahinya.


“Nggak apa-apalah, pak. Kalau nggak kuat bayar uang sokongannya, ya nggak ikutlah,” jawabku.


“Tahu gitu, aku juga nggak ikutan acara ini, be. Kirain semua wajib ikut,” lanjut pak Edi.


“Nggak ada yang bilang wajib, kap. Kalau siap bayar uang sokongan Rp 300 ribu perkamar, ikut acara bakar ikan itu. Kami nggak sanggup, jadi ya nggak ikut,” kap Yasin menimpali.  


Pak Edi menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Tampak ada penyesalan di raut wajahnya. Tanpa ia mengucap, kami memahami bila sebagai kap kamar 34, ia merogoh koceknya sendiri demi mengikuti agenda makan ikan bakar bersama menyambut pergantian tahun.


Acapkali, berposisi sebagai tahanan memang serba salah. Karena kekhawatiran akan terkena masalah, akhirnya memaksakan diri untuk mengikuti sesuatu yang sebenarnya bukan sebuah kewajiban bagi WBP. Dan betapapun juga, kecerdasan serta kecerdikan dalam meningkahi suatu keadaan, tetaplah diperlukan. 


“Jadi, kap semua ya kan yang nalangi biaya bakar ikan ini?” tanya kap Yasin kepada pak Edi. Mencari kepastian.


“Iyalah, kap. Nggak mungkin aku minta kawan-kawan sokongan. Makanya, kalau tahu kamar 30 nggak ikut dan nggak ada masalah, aku nggak ikut juga. Sayang lo, uang Rp 300 ribu cuma buat makan ikan doang. Apalagi nggak jelas, berapa banyak jatah ikan perkamar,” aku pak Edi, dan sesekali kembali menggaruk-garuk kepalanya.


“Makanya seobrolan dong, kap,” ucap Anton, di sela-sela ia bernyanyi lagu-lagu dangdut.


“Mau ngobrol kayak mana coba, Ton. Tiba-tiba ditodong sama Basri dan Dino. Dibilang semua kamar di Blok B sudah oke dan bayar sokongannya,” kata pak Edi dengan nada kesal.


“Jangan-jangan malah sebenernya sokongan yang diminta sipir penyiap ikannya, nggak Rp 300 ribu lo, kap. Coba nanti kap selidiki,” kata Anton lagi, seraya tersenyum.


“Bisa jadi ya, Ton. Aku baru sadar, kalau akal Dino sama Basri kan banyak buat dapet duit dari sesama tahanan. Mereka itu sepasang raja tega,” tanggap pak Edi, sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.


“Ya sudah, sana ke lapangan sekarang aja, pak. Pelajari, bener nggak sokongannya sebesar itu. Nggak boleh suudzon, cari aja buktinya,” kataku, menengahi.


Dengan langkah gontai, pak Edi bergerak menuju pintu utama Blok B untuk kemudian bergabung di tepi lapangan dengan ratusan tahanan lainnya.


“Sakit bener hati pak Edi kalau kenyataannya nanti, ternyata sokongan perkamar nggak sebesar yang dibilang Dino sama Basri,” kata pak Ramdan, dengan suara pelan.


“Kalau kita di penjara, jangan pernah ngerasa sakit hati karena dibohongi atau dihianati kawan, pak. Karena yang kayak gitu, lumrah terjadi. Kita harus tanemin, sakit itu ketika hati kita dihianati sama diri kita sendiri. Hati kita pengen takwa, tapi pikiran kita sibuk sama urusan dunia,” ucap pak Waras, meluruskan pandangan pak Ramdan. (bersambung)

LIPSUS