Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 372)

Sabtu, 07 Januari 2023
Views


Oleh, Dalem Tehang 


SAAT adzan Dhuhur menggema, pak Waras mengajakku keluar kamar dan menuju masjid. Untuk solat berjamaah. Dan seusai melakukan prosesi peribadatan, kami mengikuti tausiyah ustadz Umar.


Mantan dosen itu membuka pencerahan dengan mengingatkan, untuk tidak bersombong diri. Karena kenikmatan hidup yang sesungguhnya berada pada pembawaan yang rendah hati. 


“Jangan sampai kita tertipu dengan ilmu yang kita dimiliki, karena sesungguhnya perkara yang tidak kita ketahui, lebih banyak daripada yang kita ketahui,” kata ustadz Umar.


Ditambahkan, jangan pula kita merasa percaya diri dengan amalan yang dikerjakan, karena kita tidak tahu, apakah amalan itu diterima ataukah tidak. Juga jangan merasa aman terhadap dosa-dosa kita, karena kita tidak tahu apakah dosa itu diampuni ataukan tidak.


“Mari terus perbaiki diri kita. Hati dan pikiran kita. Tingkatin tawadhu dan terus merendah, karena sehebat apapun, kita hanyalah makhluk. Yang sepenuhnya semua urusan kita tergantung pada kehendak Sang Khaliq,” sambung ustadz Umar.


Mengakhiri tausiyahnya, ustadz Umar menyampaikan, bunga yang indah hanya tumbuh di atas tanah yang lembut, bukan di atas batu. 


“Begitu juga dengan ilmu dan kebijaksanaan. Ia hanya tumbuh di hati yang merendah, bukan di hati orang-orang yang congkak dan keras hati,” tutur ustadz Umar. 


Selepas mengikut tausiyah, aku dan pak Waras bergegas kembali ke kamar. Setelah mengikuti apel siang, dilanjutkan dengan makan bersama semua penghuni sel 30.


“Om, terimakasih ikan bakarnya ya,” kata kap Yasin, yang mendapat bagian satu ekor ikan bakar kiriman komandan pengamanan.


“Terimakasihnya ke komandan dong, kap. Masak ke aku,” sahutku, seraya tersenyum.


“Iya, nanti kalau ketemu komandan, pasti aku juga sampein terimakasih kok, om. O iya, kabarnya pak Edi jadi keki ya sama kita. Nggak ikut acara bakar-bakar ikan tapi dikirim ikannya,” lanjut kap Yasin, juga sambil tersenyum.


“Bukan keki jugalah, kap. Cuma heran aja. Dan wajar dia kayak gitu. Karena ternyata, masing-masing orang cuma dibagi satu ekor. Itu juga tanpa nasi. Padahal, sokongannya kan mahal,” jawabku.


“Kayaknya kecewa berat ya pak Edi sama acara malem tahun baruan itu,” sambung kap Yasin lagi.


“Ya wajar aja dia kecewa, kap. Jangan-jangan semua orang juga ngerasain yang sama. Karena nggak sesuai sama dana sokongannya. Tapi, bisa apa juga kita tahanan ini. Nggak mungkin mau protes,” pak Ramdan menyela.


“Sebenernya, semua ini pembelajaran buat kita, kap. Kecewa, sedih, sakit itu banyak bawa hikmah. Masalahnya, seberapa lapang hati dan pikiran kita bisa nerimanya dengan ikhlas,” pak Waras buka suara.


“Ujung-ujungnya ya harus ikhlas itulah ya, pak. Walau terpaksa,” ujar kap Yasin.


“Ya bener, kap. Karena semua dimulai dari terpaksa, lalu tersiksa, baru akhirnya terbiasa. Ketiga proses itu harus dilalui, baru sampai ke ikhlas. Dan di penjara inilah, kita bisa jadi orang yang bener-bener sabar dan ikhlas itu. Makanya, aku nggak bosen-bosen ngajak kita semua buat terus bersyukur. Dan kita harus pahami bener, Allah itu kasih ujian di titik terlemah kita, Dia pengen ngelihat sejauhmana kita bisa bertahan. Karena Dia punya banyak cara untuk ngebuat hamba-Nya kuat,” sahut pak Waras.


“Bener kata orang-orang. Belajar dari pengalaman itu mahal, karena harus ngalami dulu baru muncul sebuah pembelajaran,” tanggap Anton.


“Pinter kamu, Anton. Cuma, mulut comelmu itu mesti dikurangi. Kebiasaan kepo sana-sini, berhentiin. Nanti kamu jadi kebiasaan ghibah. Dosa ghibah itu berat,” kata kap Yasin.


“Aku kan lulusan perguruan tinggi sih, kap. Wajar aja kalau otakku agak encer. Aku sebenernya bukan kepo lo, cuma seneng ngomentari hal-hal yang nurut aku kurang pas aja,” jawab Anton.


“Yang nurut kamu kurang pas itu, belum tentu sama dengan penilaian orang, Anton. Jadi baikan diem, kalau nggak nyenggol badan kita,” ujar kap Yasin, menimpali.


“Jadi, aku harus belajar diem ya, kap? Apa enaknya hidup kayak gitu?” tanya Anton.


“Kamu jangan salah, Anton. Dengan terbiasa diem, banyak hal positif yang kita dapet. Misalnya, kita diem dari ngeluhin keadaan, bagian dari perilaku kita yang selalu sadar dan kepaut sama Tuhan. Namanya nerimo ing takdir. Diem dalam kepasrahan itu laku tertinggi, bukti nyata dari praktik olah pikir, olah rasa, dan olah jiwa. Yang kewujud dalam sabar, ikhlas, dan iman,” urai kap Yasin.


Baru saja kami selesai makan siang, tamping kunci datang dan membuka gembok. Memintaku keluar kamar, karena ditunggu komandan di pos penjagaan dalam. 


“Terimakasih banyak kiriman ikan bakarnya, pak. Alhamdulillah, tetep ngerasain makanan malem tahun baru,” kataku, sambil menyalami komandan pengamanan rutan, setelah masuk ke pos penjagaan.


“Berbagi aja, pak. Sebenernya, semalem saya pengen ngajak pak Mario keluar. Gabung sama kawan-kawan di lapangan. Tapi, saya pikir-pikir lagi, pasti pak Mario nggak enak sama kawan-kawan di kamar, makanya nggak jadi saya susul,” ucap komandan pengamanan rutan yang sejak awal banyak membantuku.


“Iyalah, pak. Nggak enak aku sama kawan-kawan kalau keluar sendirian. Dikirim ikannya aja sudah seneng dan Alhamdulillah bener, pak,” sahutku. 


Di saat kami berbincang ringan, datang pak Hadi. Tidak lama kemudian, komandan dan pak Hadi bermain catur. Jadilah aku penonton. Meski tidak menyukai jenis permainan olahraga ini, namun aku tetap mencoba untuk memahami pergerakan bidak dan trik-triknya. 


“Pak Mario mau tahu kenapa aku suka sama catur?” kata pak Hadi, sambil tersenyum ke arahku. Yang duduk anteng di antara ia dan komandan. 


“Iya, karena apa, pak,” sahutku, juga menatapnya.


“Dulu, waktu aku masih kecil dan tinggal di kampung. Pas malem terang bulan, aku dan ibu duduk di tangga rumah. Mandangi langit. Saat itu, ibu nyampein kata-kata yang terus ku inget sampai sekarang,” kata pak Hadi.


“Apa kata ibu waktu itu, pak?” tanyaku, penasaran. 


“Kata ibu: kalau kamu itu bintang yang kecil, nepi aja dari kerumunan bintang-bintang yang besar. Mungkin ada sisi lain dari langit malam gelap yang butuhin cahayamu. Nggak usahlah kepengen jadi hebat, cukuplah beri manfaat,” ucap pak Hadi, dengan menebar senyumnya. 


“Terus apa kaitan omongan ibu itu sama main catur, pak?” komandan, menyela.


“Karena aku cuma bintang yang kecil, mainnya ya yang jauh dari kerumunan. Pas kan sama hobiku main catur, yang jauh dari kerumunan penonton,” jawab pak Hadi, diiringi tawanya yang lepas.


Aku dan komandan pengamanan rutan pun ikut tertawa. Suasana terus penuh keceriaan dan kebersamaan. Sehingga lupa, jika kami tinggal di dalam kawasan yang mengekang kebebasan.


Dan teringatlah aku perkataan seorang sahabat: masalah itu ibarat kita memegang gelas, awalnya ringan. Namun, ketika gelas itu terus dipegang tanpa pernah dilepas, pasti akan memberatkan. (bersambung)

LIPSUS