Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 375)

Selasa, 10 Januari 2023



Oleh, Dalem Tehang 


NGGAK bisa juga didiemin kalau kelewatan gitu mah, om,” kata pak Ramdan.


“Biarin aja, pak. Toh, masih banyak sipir lain yang selama ini baik sama kita. Bahkan ngirim makanan, kasih rokok, juga perhatian. Kalau ada satu atau dua yang tampil beda, nggak perlu dipersoalin. Beda kalau dia mukul atau ngelukai secara fisik,” tanggapku tetap dengan tersenyum.


“Kok om Mario jadi penyabar gini ya, pak?” tanya pak Ramdan, sambil menatap pak Waras.


Pak Waras hanya tersenyum, seraya memberikan jawaban dengan mengangkat bahunya saja.   


Terdengar suara kap Yasin telah terbangun dari tidurnya. Pak Ramdan langsung berdiri, dan menyiapkan minuman hangat untuk kepala kamar 30 tersebut. Setelah membasuh muka, kap Yasin duduk bersamaku dan pak Waras.


“Tadi lamat-lamat aku denger, om khatam Qur’an ya subuh tadi,” kata kap Yasin. 


“Iya, Alhamdulillah, kap. Setelah sekian bulan, akhirnya khatam juga,” sahutku.


“Alhamdulillah. Kalau gitu, kita syukuran dulu. Makan nasi kuning, nanti didoain sama pak Waras. Minta berkah khatam Qur’annya buat kita sekamar,” lanjut kap Yasin.


Dan sesaat kemudian, kap Yasin berdiri di balik jeruji besi. Ia berteriak, memanggil tamping kebersihan yang tengah menyapu selasar di depan ruang tahanan. 


Setelah tamping datang, kap Yasin memintanya memanggilkan tamping kebersihan yang juga berdagang makanan untuk sarapan. Sekitar 10 menit kemudian, tamping yang ditunggu, datang.


“Ada nasi kuning nggak. Kalau ada, kirim kesini 11 bungkus ya,” ujar kap Yasin kepada tamping tersebut.


“Siap, kap. Kenapa nggak sekalian 15 bungkus aja, jadi langsung habis stok nasi kuningnya,” jawab tamping itu.


“Perlunya 11, sesuai jumlah orang di kamar. Ya itu aja anter kesini. Nanti sore, aku bayar,” kata kap Yasin lagi.


“Siap, kap,” sahut tamping tersebut, dan bergegas kembali ke tempatnya menaruh makanan yang dijajakannya.


“Ngerepotin aja sih, kap,” kataku, setelah kap Yasin kembali duduk di dekat kami.


“Nggaklah, om. Ini sekadar wujud rasa syukur dan bahagia aja. Lumrah aja kok. Bahkan, kalau di tempatku, kalau ada yang khataman, dipotongin ayam buat lauk makan bersama,” sahut kap Yasin, seraya tersenyum lepas.


Dan setelah 11 nasi kuning diantarkan ke kamar, ditaruh dengan berjejer rapih di lantai ruang depan, kap Yasin meminta pak Waras membacakan doa. Anton yang terbangun dari tidurnya selepas solat Subuh, langsung bergabung. 


Dengan suara berat penuh penghayatan, pak Waras memimpin doa, sedangkan aku, kap Yasin, pak Ramdan, juga Anton, yang mengaminkan. 


Cukup panjang untaian pengharapan yang disampaikan pak Waras, dan setelahnya, aku melihat ada genangan air di matanya. Begitu terharu pria seusiaku tersebut dengan prosesi syukuran khatam Qur’an ini.


“Nah, setelah didoain begini, ayo kita makan nasi kuningnya. Berkah inshaallah,” kata kap Yasin, yang memulai membuka nasi kuning di depan kami.


Sambil menikmati nasi kuning yang telah didoakan, kap Yasin beberapa kali memandang pak Waras yang makan sambil menundukkan wajahnya.


“Kok jadi sedih gitu, kenapa, pak?” tanya kap Yasin, kemudian.


“Terharu aja, kap. Bukan sedih. Nggak pernah kebayang, kalau aku bisa doain orang khatam Qur’an di dalam penjara kayak gini,” jawab pak Waras, dengan suara tercekat.


“Yah, namanya hidup, pak. Emang banyak hal yang nggak pernah kita bayangin bakal terjadi sama kita. Tapi seperti yang sering pak Waras sampein, kondisi apapun harus dinikmati dan syukuri, karena semuanya sudah garisan takdir,” tanggap kap Yasin, dengan nada santai.


“Bener juga ya, kap. Om Mario sendiri pasti nggak pernah ngebayangin bakalan khataman di rutan,” ucap Anton, menimpali. 


Aku tertawa mendengar perkataan Anton. Siapapun juga orangnya, pasti tidak akan pernah membayangkan akan bisa khataman kitab suci di dalam penjara. Terkecuali, memang telah mendekam di dalamnya.


“Kalau nurut aku, bukan soal ngebayangin apa nggaknya bisa khatam Qur’an di penjara. Tapi, justru aku nilai, ibadah apapun itu lebih punya makna ketika dilakuin saat kita dalam kondisi terpuruk kayak gini,” kata pak Ramdan.


“Yang penting, ibadah itu dilakuin dengan niat semata-mata karena Allah, bukan karena selain itu. Cuma dengan begitu, apapun ibadah kita akan sampai ke Yang Kuasa,” ucap pak Waras.


Tiba-tiba tamping kunci datang. Membuka gembok besar yang menggantung di pintu kamar. Kami semua hanya memandangi kegiatan tamping tersebut.


“Izin, kap. Yang sudah bangun, disuruh keluar. Ngangin,” kata tamping kunci, setelah pintu kamar ia buka.


“Maksudnya, kami boleh keluar sekarang?” tanya kap Yasin.


“Iya, semua yang ada di kamar 30 ini boleh keluar,” jawab tamping kunci.


“Siapa yang suruh kamu buka pintu ini?” tanya kap Yasin lagi. Penasaran.


Tamping tersebut menunjuk ke arah taman di depan kamar 20. Kap Yasin dan pak Ramdan berdiri. Keluar pintu, untuk melihat siapa yang memerintahkan tamping kunci membuka pintu kamar kami.


“O, sipir yang tadi itu, kap. Dia minta dibuatin kopi dan ambil semua rokok om Mario,” kata pak Ramdan, setelah melihat ke arah taman di depan kamar 20.


Kap Yasin memandang ke arah aku, Anton, dan pak Waras yang tetap duduk santai. Tampak ia tengah meminta pendapat kami. 


“Kalau emang dibolehin keluar, kita jogging aja, kap. Jangan sia-siain kesempatan,” kata Anton, memberi pendapat.


“Bagus juga ide kamu, Anton. Tapi, kok aku ragu ya. Khawatir kena jebak aja. Kita kan bukan tinggal di kamar terbuka,” sahut kap Yasin, dengan hati-hati.


“Kalau kap ragu, sebaiknya kita nggak usah keluar. Kap aja temuin sipir itu, sampein kalau kita nggak biasa keluar kamar sepagi ini,” pak Waras memberi pendapat juga.


“Apa pendapat om Mario?” tanya kap Yasin kepadaku.


“Aku nggak punya pendapat, kap. Mana yang kap putusin, aku ikut aja,” sahutku, dengan nada santai.


“Kalau pak Ramdan, apa pendapatnya?” tanya kap Yasin kepada pak Ramdan yang masih berdiri di pintu kamar.


“Nurut aku, baiknya kap tanya ke sipir itu. Apa maksudnya nyuruh kita keluar kamar sepagi ini. Biar kita nggak salah langkah,” ucap pak Ramdan.


Akhirnya, kap Yasin keluar kamar dan menemui sipir yang sebelumnya datang ke kamar kami. Meminta dibuatkan minuman hangat kopi manis dan mengambil rokokku. Selama kap Yasin berbincang dengan petugas rutan, kami kembali bercengkrama dengan santai.


Pak Ramdan dan Anton yang tampak gelisah. Menunggu kabar dari kap Yasin. Berkali-kali keduanya berdiri di depan pintu kamar dan memandang ke arah kap Yasin dengan sipir berbincang. (bersambung)

LIPSUS