Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 376)

Rabu, 11 Januari 2023


Oleh, Dalem Tehang


ASSALAMUALAIKUM,” kata kap Yasin, begitu masuk ke kamar. Wajahnya tampak memerah. Menahan kesal dan amarah.  


Setelah menaruhkan pantatnya di lantai ruang depan tempat aku, Anton, pak Waras, dan pak Ramdan tengah berbincang, kap Yasin mengambil cangkir berisi kopi manis minumannya. Meneguknya beberapa kali. Dilanjutkan dengan menyulut sebatang rokok.


Dengan perlahan, ia sedot rokok di tangannya, dan sesaat kemudian mengeluarkan asapnya dengan cara menyemburkan secara cepat dan kuat. Menunjukkan jika hatinya tengah dilanda kegalauan.  


“Kenapa, kap?” tanya pak Waras, dengan hati-hati.


“Lagi kesel aja, pak. Pengen marah dan ngegebuk orang aja rasanya. Tapi nggak bisa lakuinnya,” sahut kap Yasin, dengan suara penuh emosi.


“Ya sudah, tenangin dulu ya, kap,” lanjut pak Waras.


“Kalian pahamkan, gimana keselnya hati kalau kita nggak bisa lampiasin marah dan pengen gebukin orang. Jadi, pahami kalau aku lagi kayak gini. Kasih aku kesempatan buat nenangin diri dulu. Nanti baru aku cerita,” ujar kap Yasin, kemudian.


“Wudhu aja kali, kap. Biar cepet tenang,” saran pak Ramdan.


Kap Yasin menatap wajah pria berusia 60 tahunan yang semua rambutnya telah memutih tersebut. Ditatap dengan pandangan nanar, pak Ramdan memilih menundukkan wajahnya. Seakan ia memahami, ketika seseorang tengah dililit emosi yang tidak terlampiaskan, sebaik apapun nasihat bisa berbalik menjadi kebencian.


“Bener juga sarannya, pak. Oke, aku wudhu dulu kalau gitu,” kata kap Yasin, setelah berdiam beberapa saat.


Spontan, pak Ramdan menarik nafasnya dalam-dalam. Pertanda hatinya telah lapang kembali, setelah menahan sekian waktu karena sarannya bisa berujung ketidakbaikan.


Kap Yasin bangkit dari duduknya dan menuju kamar mandi. Kami semua tersenyum ke arah pak Ramdan. Dan napi yang mantan pejabat itu, langsung mengelus dadanya. Naik turun. Berkali-kali. Mengisyaratkan bila hatinya telah plong, karena sarannya berujung kebaikan.


Cukup lama kap Yasin di kamar mandi. Sekira 10 menit kemudian, baru ia kembali bergabung dengan duduk ndeprok bersama kami di ruang depan.


“Sipir tadi itu kelewatan. Kayaknya emang sengaja cari perkara sama kita,” ucap kap Yasin, setelah kembali menemukan ketenangannya.


“Emang kenapa, kap?” tanya Anton.


“Ya emang bener, dia kasih kita semua keluar kamar pagi ini. Tapi, dia minta kita kasih uang ke dia. Jumlahnya sama dengan sokongan kalau kita ikut acara malem tahun baruan kemarin. Gilakan,” ujar kap Yasin.


“Kok bisa kayak gitu, kap?” pak Ramdan, menyela.


“Alasan dia, nggak mungkin sekamar nggak bisa kumpulin uang Rp 300 ribu buat malem tahun baruan dengan acara bakar ikan. Maka, dia kasih kita keluar kamar sejak pagi ini dan gantinya kasih ke dia sebanyak itu,” sambung kap Yasin.


“Terus apa jawab kap?” tanya Anton lagi.


“Ya, aku sampein kalau kita emang bener-bener nggak punya uang segitu, makanya nggak ikut acara malem tahun baruan. Ujung-ujungnya dia minta Rp 150 ribu. Akhirnya aku tegesin, kami nggak mau kasih uang walau serupiah sekalipun untuk bisa bebas keluar kamar pagi ini. Sebab kamar kami bukan kamar terbuka,” urai kap Yasin, ada nada emosi dalam bicaranya.


“Terus apa kata sipir itu?” pak Waras, menyela.


“Dia ngancam, bakal ngerazia kamar kita pas dia piket. Aku tantang aja sekalian. Silakan kapan aja mau razia, kita siap,” kata kap Yasin, dengan nada tegas.


“Setelah kap sampein gitu, apa kata sipir tadi?” tanya pak Ramdan, penasaran.


“Aku langsung bangun dari duduk di taman tadi dan balik ke kamar, pak. Nggak aku pikirin dia ngomong apa,” jawab kap Yasin.


Kami semua terdiam. Dengan pikiran masing-masing. Kami memahami, adanya pertikaian pendapat dengan sipir tersebut, pasti akan membawa pengaruh tidak baik bagi ketenangan kami. Namun, kami juga menyadari, yang dilakukan kap Yasin adalah langkah yang tepat. Menjaga kawan sekamar seketidurannya. 


“Sudah bener yang kap lakuin. Nggak usah jadi pikiran ya. Nanti kita gerilya aja, gimana caranya sipir tadi jangan lagi dapet tugas jaga di blok ini. Lagian, yang namanya razia kan nggak bakal dilakuin sendirian. Pasti pakai tim dan itu juga sepengetahuan kepala rutan dengan pelaksananya kepala pengamanan rutan,” kataku, beberapa saat setelah kami semua diam.


“Sepakat aku, om. Ngapain kita mikirin sipir itu, baikan kita mainin aja sistem mereka. Tugas om-lah yang gerilya urusan beginian mah. Mainkan sama om, kami percaya om bisa tangani soal ini,” tanggap kap Yasin.


“Siap, kap. Inshaallah, semua baik-baik aja,” jawabku, dengan cepat.


Setelah kopi pahit di dalam cangkir habis, buru-buru aku ke kamar mandi untuk membersihkan badan dan berganti pakaian. 


Dan seusainya, lewat jeruji besi, aku minta tolong seorang tamping untuk menjemurkan handuk ke tempat jemuran yang memang tersedia di sepanjang tepian taman. Kebersihan dan kondisi terjaga alat mandi, bagiku merupakan hal yang cukup penting. 


Seperti juga setiap pagi dan petang, aku selalu menaburkan cairan pembersih kuman ke dalam bak mandi. Sehingga tidak ada satu pun penghuni kamar 30 yang terkena penyakit gatal-gatal kulit atau kudisan. Penyakit khas orang yang tengah di penjara.


Sambil menunggu waktu pintu kamar dibuka menjelang tibanya solat Dhuhur, aku duduk di bidang tempatku tidur. Membaca buku kiriman anak gadisku, Bulan. Tiba-tiba Anton mendatangiku, membawa bungkusan.


“Ini kue, om. Kiriman Rudy barusan,” kata Anton, sambil menaruhkan bungkusan berisi kue di dekatku.


“Alhamdulillah. Buka aja, Ton. Kita makan bareng kuenya,” jawabku.


Anton membuka bungkusan tersebut. Ternyata berisi roti bakar dua potong, arem-arem dua bungkus, dan combro empat potong. Tanpa menunggu lama, aku dan Anton langsung menyantap makanan ringan kiriman Rudy. 


Terdengar suara pak Waras memanggilku dari ruang depan. Aku pun bergerak, turun dari lantai atas di ruang bagian dalam. Dari balik jeruji besi, aku melihat seorang tamping regis berdiri disana, menungguku. (bersambung)

LIPSUS