Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 378)

Jumat, 13 Januari 2023


Oleh, Dalem Tehang


SEORANG tamping regis datang ke pos penjagaan, membawa daftar nama tahanan yang akan mengikuti persidangan hari itu. 


Sipir Fani tampak mencermati satu demi satu nama yang tertulis di kertas tersebut. Ia menatapku sambil menganggukkan kepala ketika menemukan ada namaku disana.


Dan sesaat kemudian, kami para tahanan sebanyak 40 orang, berbaris rapih di depan teras pos penjagaan dalam. Seusai diabsen dan sesuai dengan daftar namanya, kami bergerak. Menyelusuri tepian lapangan untuk sampai ke gerbang samping pos penjagaan luar.  


Setelah tamping regis melapor, gerbang tinggi terbuat dari baja yang dirajut dengan kawat kecil itu pun, dibuka. Satu demi satu kami keluar dari area steril, untuk kembali berbaris di halaman depan kantor rutan. 


Petugas di pos penjagaan luar datang, melakukan absensi lagi. Cukup lama prosesnya, baru kemudian memerintahkan tamping regis melapor ke petugas di P-2-O. 


Pemeriksaan di ruangan P-2-O juga berjalan sangat lambat. Hampir 30 menit baru kami satu demi satu menaiki kendaraan khusus tahanan yang segera bergerak kencang meninggalkan kawasan rutan dengan suara sirine yang terus meraung tanpa henti. Sekira 50 menit perjalanan, sampailah dua mobil tahanan di gedung Pengadilan Negeri.


Mataku mencari-cari istriku Laksmi dan adikku Laksa yang biasanya menyambut saat aku turun dari mobil tahanan. Namun, sampai aku ikut digiring bersama tahanan lain masuk ke sel sementara yang terletak pada bagian bawah gedung pengadilan, keduanya tidak tampak. Perlahan, hatiku pun merasa gelisah. 


Apalagi, ruangan sel sementara yang cukup kecil itu, diisi oleh 40 orang yang akan bersidang. Terasa begitu sumpek ditambah hawa panas menyebar dengan cepatnya. 


Dalam ketidaknyamanan itu, aku ikut solat berjamaah Dhuhur ketika ada tiga tahanan akan memulai persujudan kepada Sang Khaliq. Seusai berdoa, aku berdiri di jeruji besi. 


Memandang beberapa petugas keamanan Kejaksaan Negeri yang tengah bercengkrama dengan sesamanya. Salah satu di antara mereka, melihatku dan mendekat.


“Abang sidang hari ini?” tanya dia, begitu berdiri di depanku, dibatasi jeruji besi.


“Katanya gitu, tapi seingetku sidang lagi minggu depan,” jawabku, pelan.


Petugas itu berbalik. Ke meja panjang tempat petugas kejaksaan menaruh map warna merah berisi nama peserta sidang. Ia membawa map itu, dan ditunjukkan kepadaku. Perlahan, ku pelototi satu demi satu nama yang ada disana. Tidak ada namaku.


“Nggak ada kan nama abang. Kok bisa salah gini ya orang rutan,” kata dia, setelah memastikan namaku tidak terdaftar sebagai peserta sidang hari itu.


“Aku juga nggak ngerti kok bisa kayak gini. Kata tamping regis, mereka masukin data sesuai yang dikirim Kejaksaan Negeri. Nyatanya data yang ada di kertas ini, namaku emang nggak ada,” ucapku, dengan nada kesal.


Petugas kejaksaan hanya mengangkat bahunya. Menunjukkan jika ia tidak mengetahui mengapa bisa terjadi kesalahan seperti ini. 


“Keluarga nggak tahu ya, kalau abang ada disini?” tanya petugas tersebut.


“Tadi sempet aku kasih kabar, tapi kan belum pasti juga. Bisa jadi, istriku nggak kesini kalau nggak dikabari lagi,” ujarku. 


Tanpa aku minta, petugas dari Kejaksaan Negeri itu memberikan telepon selulernya. Memintaku menghubungi istri. Dengan cepat, ku telepon istriku. Setelah tiga kali panggilan terputus, baru diangkat.


“Bunda, ini ayah. Sekarang ayah di pengadilan. Kalau bunda nggak sibuk, kesini ya,” kataku, dengan cepat.


“Subhanallah. Jadi ya ayah ke pengadilan. Iya, sebentar lagi bunda ke tempat ayah. Sabar ya, bunda beresin kerjaan dulu,” sahut istriku, yang tampak terkejut mendengar suaraku.


“Alhamdulillah. Inshaallah, nanti istriku kesini. Terimakasih ya, pak. Sekalian minta bantu, kalau istriku dateng, bukain ruangan di bagian belakang, seperti biasa,” kataku kepada petugas kejaksaan yang baik hati tersebut.


“Siap, bang. Syukur kalau istri abang kesini. Kalau nggak ada keluarga yang dateng, nambah bete abang diem di sel sampai sore nanti,” tutur petugas itu, dan kembali bergabung dengan sesamanya.   


Tidak berlama-lama, dari baik jeruji besi sel sementara gedung Pengadilan Negeri, aku melihat istriku tampak berjalan tergopoh-gopoh ke arah tempatku berada. Dan setelah menuruni tangga, seorang petugas kejaksaan membukakan pintu besi. 


Petugas itu mengarahkan istriku ke ruang bagian belakang, dan seorang petugas lain membukakan pintu sel tempatku. Beberapa saat kemudian, aku pun telah bersama istriku Laksmi.


“Aneh juga ya, masak pegawai rutan bisa salah masukin nama ayah, padahal jelas-jelas surat dari kejaksaan nggak ada nama ayah,” kata Laksmi, setelah ku ceritakan bila aku telah ditunjukkan surat dari Kejaksaan Negeri mengenai daftar nama tahanan yang bersidang hari itu, dan tidak ada namaku.


“Kita ambil hikmahnya aja ya, bunda. Dengan kesalahan ini, kan akhirnya kita bisa ketemu,” sahutku, sambil memeluk dan mencium istriku.


“Bener juga ya, ayah. Jadi bunda nggak perlu jauh-jauh sampai ke rutan buat kita ketemu,” tanggap istriku dengan menebar senyum sumringahnya.


Laksmi mengeluarkan satu bungkusan dari kantong plastik yang dibawanya. Berupa nasi dengan lauk rendang dan telur bulat sambel. Sambil makan siang, sesekali aku menyuapi istriku dan terus berbincang ringan. 


Ketika suara adzan Ashar dari masjid yang ada di kompleks Pengadilan Negeri berkumandang, Laksmi memintaku untuk segera solat. Karena jika menunggu sampai kembali ke rutan, hampir dipastikan akan lewat waktu solatnya. Bahkan sudah masuk jam solat Maghrib.


Sebuah sajadah usang yang teronggok di sudut ruangan menjadi tempatku menyujudkan raga dan menyatukan jiwa dengan Yang Maha Kuasa. Setelah sebelumnya berwudhu di toilet kecil yang hanya ditutup tembok tidak lebih dari satu meter. 


Istriku menyampaikan perkembangan sekolah Bulan dan Halilintar, yang tetap penuh semangat dan terus mengikuti berbagai kegiatan tambahan di sekolah masing-masing. Pun kegiatannya di kantor, yang tetap mampu dijalaninya dengan baik. 


“Alhamdulillah, ayah bangga dengan bunda. Terus bisa jadi yang terbaik buat anak-anak, juga ayah. Terimakasih ya, bunda,” ujarku, dan kembali mencium Laksmi.


“Cuma, kadangkala bunda kerasa amat lelah dan ringkih lo, ayah. Terus doain bunda ya. Bunda tetep bisa bertahan sampai saat ini, semata-mata karena Allah yang turun langsung kasih kekuatan,” ucap istriku. Suaranya bergetar, diliputi kesedihan dan keterharuan.


“Allah akan selalu kuatin bunda. Yakin aja ya. Wajar dan sangat manusiawi kalau sesekali bunda ngerasa lelah hadepi semuanya, tapi ayah yakin, bunda akan terus tegar, tegak, dan nggak bakal ambruk. Ada kekuatan luar biasa yang diturunkan Allah buat bunda, juga anak-anak. Ayah selalu doain kalian,” tanggapku, seraya merengkuh badan istriku dalam pelukan hangat penuh kasih sayang dan kebanggaan.


“Bunda yakin, kita kuat jalani semua ujian ini, ayah. Cuma emang, seringkali nggak tahan juga denger omongan orang. Makanya, bunda milih banyak diem. Yang penting, tetep bisa maksimal laksanain tugas pekerjaan dan urus anak-anak dengan baik,” kata istriku lagi.


“Bunda tetep tenang dan kendaliin diri ya. Ayah pernah denger ceramah, ustadznya bilang: kalau kamu baik, kamu akan dicela sama orang buruk. Tapi kalau kamu buruk, kamu dicela sama orang baik. Jangankan yang masih hidup, bahkan mayat yang sudah terpendam tanah berabad-abad pun, tidak selamat dari ocehan dan komentar manusia. Gitu kata pak ustadz. Jadi, kita terus sabar dan senyum aja kalau ada yang ngomongin macem-macem ya,” jawabku, terus memeluk istriku dengan kencang.


Mendadak istriku menangis. Badannya bergetar. Air mengucur dari kedua mata indahnya. Kian kencang ku rengkuh istriku. Betapapun tegarnya, ia tetap membutuhkanku untuk tempatnya melepaskan segala kesedihan dan beban yang mengendap di batinnya selama ini. (bersambung)

LIPSUS