Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 379)

Sabtu, 14 Januari 2023


Oleh, Dalem Tehang


SUASANA di luar ruangan tempatku bersama istri berada, mendadak riuh. Pertanda semua tahanan telah selesai mengikuti persidangan dan segera kembali ke rutan. 


Ku pandangi istriku yang sesekali masih menghapus sisa-sisa air matanya. Ia tersenyum. Sesaat. Memahami benar bila sebentar lagi kami akan berpisah.


“Ayah tetep tenang dan jaga kesehatan ya. Nggak usah banyak pikiran. Biar semua ini berjalan sesuai alurnya aja. Tetep bersih hati, jangan ada dendam pada siapapun. Perbaiki diri aja, sabar dan ikhlas sama takdir,” ucap istriku, sambil memeluk dan mengelus-elus kepalaku.


“Bunda juga tetep jaga kesehatan ya. Yakin aja, nggak ada ujian di atas kemampuan kita ngatasinya. Salam kangen buat anak-anak,” sahutku, dan juga memeluk Laksmi dengan erat.


Seorang petugas kejaksaan menghampiri ruangan kami. Seraya tersenyum, ia memberi isyarat jika aku harus segera naik ke mobil tahanan. 


Sambil memeluk Laksmi, aku melangkahkan kaki. Keluar ruangan khusus, berjalan di lorong dan selanjutnya menaiki tangga serta naik ke kendaraan yang akan membawaku kembali ke rumah tahanan.


Tepat di depan pintu kendaraan, aku membalikkan badan. Berhadapan dengan Laksmi. Ku elus wajah istriku. Penuh rasa sayang. Ada senyum manis ia persembahkan. Dan kembali ku rengkuh ia dalam dekap hangat. Ku cium keningnya. 


“Maaf ya, ayah. Bunda cuma sempet beli makanan ringan sekadarnya aja buat ayah bawa ke rutan,” ujar Laksmi, dengan suara sedih.


“Nggak apa-apa, bunda. Ini sudah banyak kok. Nggak usah jadi pikiran ya. Ayah bahagia dan seneng kita bisa ketemu,” sahutku, dan sesaat kemudian naik ke mobil tahanan.


Pengemudi mobil tahanan tampak tidak sabaran. Ia langsung melajukan kendaraan dengan kencang begitu keluar kawasan Pengadilan Negeri. Diiringi suara sirine yang tiada henti, kendaraan yang sudah cukup tua itu, melaju meliuk-liuk memecah kemacetan. Beberapa tahanan sempat terjatuh dari pangkuan tahanan lain akibat gerakan kendaraan yang tidak beraturan.


Hanya dalam waktu kurang dari 40 menit, kami telah memasuki kompleks rutan. Setelah mobil berhenti di depan gerbang utama, semua tahanan baru menarik nafas lega. Selamat sampai kembali di tempat pemenjaraan. 


Dan setelah mendapat perintah dari petugas keamanan, satu demi satu kami turun dari kendaraan untuk kemudian memasuki ruang P-2-O guna menjalani pemeriksaan ekstra ketat. 


Saat pemeriksaan baru dimulai, terdengar suara adzan Maghrib dari masjid di dalam kompleks rutan. Seorang sipir yang memeriksa barang bawaanku, tampak memperhatikan isi kopiah yang berada di samping kantong plastik tempat beberapa makanan ringan pemberian istriku. 


“Ini ada uang 80 ribu, aku minta 20 ya, pakde. Buat tambahan beli rokok,” kata sipir berusia sekitar 30 tahunan itu, dan langsung mengambil selembar dari empat lembar uang yang ada di dalam kopiahku. Yang juga ditaruh di lantai, tepat dimana aku berdiri.


Aku hanya menganggukkan kepala. Tidak seperti biasanya, petang itu aku merasa benar-benar sedang tidak bersemangat. Seakan tengah pergi jauh semua ketegaran dan kesigapanku. Akhirnya, aku memilih mengikuti apapun proses yang ada tanpa berkata-kata. 


Bahkan, saat sebelum meninggalkan pos penjagaan dalam, semua tahanan yang baru bersidang diwajibkan memberi “uang sepemahaman” dengan memasukkan ke kardus kecil yang ditaruh di sudut pintu keluar, aku pun langsung menarik selembar uang yang ada dan memasukkannya. Tanpa kata, tanpa ekspresi apa-apa. Seakan pasrah begitu saja.  


Ketika suara adzan Isya menggema, barulah aku menuju Blok B untuk masuk ke kamar lagi. Saat itu, pak Waras tengah mengimami solat. Aku menunggu di depan pintu, hingga ibadah mereka selesai. 


Setelah masuk ke dalam kamar, aku langsung membersihkan badan. Berganti pakaian, dan solat. Pada saat akan makan malam, mataku tertuju pada seorang pria muda berusia sekitar 26 tahunan. Anak muda berbadan gempal itu penghuni baru kamar kami.


“O iya, om. Kita dapet kawan baru. Namanya Teguh. Dia kena kasus narkoba. Baru keluar dari AO habis adzan maghrib tadi dan langsung masuk sini,” kata kap Yasin, yang melihatku ketika menatap pria muda tersebut. 


Anak muda berwajah dingin itu beranjak dari duduknya. Menuju ke tempatku. Dengan kedua tangan sambil membungkukkan badan, ia menyalami dan mengenalkan dirinya kepadaku.


“Namaku Teguh, ayah,” ujar anak muda itu, dengan suara tegas.


“Kok kamu manggil om Mario ayah, kenapa Teguh?” tanya pak Ramdan.


“Begitu ngelihat matanya, aku inget ayahku, pak. Jadi, spontan aja aku pengen manggil om Mario dengan sebutan ayah. Nggak keberatankan, ayah,” sahut Teguh, sambil menatapku.


Aku tersenyum dan menepuk-nepuk bahu anak muda itu. Posturnya yang tinggi besar dengan wajah dingin tanpa ekspresi menunjukkan ia sosok yang sulit diatur. Tipe orang semacam ini akan melakukan apapun yang ia yakini bisa membuatnya bahagia. Tanpa mempedulikan risikonya.


“Kamu emang pemakai ya?” tanyaku, menatap Teguh yang duduk bersila di depanku.  


“Nggak, ayah. Aku nggak pernah pakai narkoba,” jawabnya, dengan suara serius.


“Lha, katanya kamu kena kasus narkoba?” tanyaku lagi.


“Emang bener aku kena kasus narkoba, tapi aku bukan pemakai. Aku penjual, ayah. Pengedar gitulah,” kata Teguh.


“Berapa banyak BB yang disita dari kamu?” tanyaku lagi.


“Hampir enam kilogram. Sabu-sabu mainanku selama ini, ayah. Nggak pernah aku jual atau edarin yang lain,” lanjut Teguh, dengan tenang. 


“Bagus kalau gitu. Kamu bukan tahanan kaleng-kaleng,” sahutku, dan kembali menepuk-nepuk bahunya.


Kap Yasin mengajak kami makan malam bersama. Bergeraklah seisi kamar ke lantai atas di ruang dalam. Duduk melingkar. Dan setelah pak Waras memimpin doa, mulailah kami mengisi perut.


“Teguh sudah bayar uang kamar, om. Sebulan sekalian yang dia kasih. Uangnya sudah di Anton. Cuma belum tahu, dia mau ditempatin dimana,” kata kap Yasin, di sela-sela kami makan malam, sambil melihat ke arahku.


Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala. Teguh memang bukan tahanan kasus narkoba kelas teri. Terbukti, ia langsung membayar uang kamar sebesar Rp 1 juta untuk satu bulan. Ia memahami benar bagaimana “membeli” ketenangan dan kehormatan di tempat barunya.


“Soal tempat Teguh mau dimana, terserah kap aja,” kataku, beberapa saat kemudian. 


“Gimana kalau Teguh di atas, pak Ramdan yang turun ke ruang depan,” ujar kap Yasin, dan kembali melihat ke arahku.


“Baiknya sih pak Ramdan tetep di atas, kap. Bahkan aku malah kepikir, pak Waras juga tempatnya di atas. Mereka kan sudah cukup tua usianya, walau nggak bisa juga dibilang memasuki masa uzur,” kataku. 


Kap Yasin memandangku dengan tatapan serius. Aku memahami, ia akan mengistimewakan Teguh, karena penghuni baru itu langsung menunjukkan kesepahamannya dengan membayar uang kamar, bahkan satu bulan sekaligus. Namun, aku melihat dari sisi lain. Meski sangat mengerti, uang adalah penentu segalanya di dalam penjara. (bersambung)

LIPSUS