Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 382)

Selasa, 17 Januari 2023


Oleh, Dalem Tehang


JADI, biar mantep taubatnya, kita harus inget terus dan omongin kalau kita ini pendosa, kita ini penjahat, dan kita ini orang bermasalah ya, bang?” tanya Gerry.


“Baikan akui aja apa adanya, Gerry. Ngapain sok suci. Toh, Tuhan juga lebih tahu kita yang sebenernya. Dan Tuhan lebih seneng taubatnya seorang pendosa dibanding orang alim yang riya dan sombong,” jawabku. 


“Siap, bang. Baru ini aku tahu kalau taubatnya pendosa ternyata lebih disukai Tuhan dibanding yang alim tapi sombong. Omongan abang ini buatku semangat untuk perbaiki diri. Yang aku pahami selama ini, kalau orang kayak kita, susah bisa disukai Tuhan, mau taubat kayak mana juga,” sambung Gerry.


“Nggaklah. Tuhan itu maha pengampun, Gerry. Minta aja ampunan dengan taubat yang bener-bener, dan diikuti istiqomah. Inshaallah, banyak manfaat didapet dari mondok di rutan ini,” kataku lagi. 


“Nanti ajari Gerry solat taubat ya, bang,” pinta pria muda yang terlilit kasus penipuan dan penggelapan itu.


“Kamu pinjem buku ke Rudy di kamar 20 aja, Gerry. Banyak buku agama disana. Kamu baca dan pahami sendiri. Itu lebih bagus daripada aku ajari kamu,” jawabku. 


“Siap. Terimakasih banyak atas supportnya ya, bang,” ucap Gerry lagi.


“Santai ajalah. O iya, ngomong-ngomong siapa yang kirim uangmu ke penjual barang itu, kan kata kamu siang nanti transfernya,” kataku, setelah berdiam beberapa saat.


“Ada sipir disini, bang. Aku kan beli nomer rekening bodong dan ATM-nya ada sama dia. Selama ini, dialah yang tangani urusan keuangan bisnisku ini,” jelas Gerry. 


“Cair terus dong sipir kepercayaanmu itu,” ujarku menyela, seraya tertawa.


“Yah, berbagi pendapatan kan wajar-wajar aja sih, bang. Yang penting saling pengertian dan nggak ada yang dirugiin,” sahut Gerry, juga sambil tertawa.


Aku melihat rombongan anggota majelis taklim telah berjalan menuju masjid. Pun puluhan tahanan telah keluar dari bloknya. Pertanda sebentar lagi waktunya solat Dhuhur. Aku dan Gerry berpisah untuk kembali ke kamar masing-masing.


“Darimana sih, om. Habis sarapan dan mandi, langsung keluar. Nyampe ke mal nggak jalan-jalannya,” kata kap Yasin, saat melihatku masuk kamar.


“Emang habis kongkow di mal ini tadi, kap. Sambil makan capcay goreng,” sahutku, tertawa.


“Si Dul masih dagang bakso di pojokan mal itu ya,” lanjut kap Yasin.


“Masih, kap. Tadi dia tanya dan nitip salam buat kap. Katanya, kenapa sudah lama nggak makan bakso di tempatnya,” ucapku lagi, masih dengan tertawa.


“Terus, om bilang apa?” tanya kap Yasin, menahan ketawa.


“Aku bilang kalau kap lagi mondok,” ujarku, juga dengan tertawa.


“Emang lama-lama kita sekamar jadi orang stres, kalau keseringan denger kap ngebanyol kayak serius gini,” ucap Anton, diiringi ledakan tawanya. 


“Ketimbang stres beneran, kan lebih enak ngomong goblok-goblokan gini sih, Anton,” tanggap kap Yasin, yang terus tertawa ngakak.


Pak Waras yang mendengar celetukan kap Yasin denganku dan Anton, ikut tertawa sampai terbatuk-batuk.


“Awas, pak. Saking kencengnya ketawa sambil batuk, nanti giginya rontok lo. Lompat sampai ke luar kamar,” kata kap Yasin kepada pak Waras.


Pria separuh baya yang dikenal alim itu, kembali tertawa hingga terpingkal-pingkal. Suara tawa kami terdengar sampai ke luar kamar. 


“Alangkah enaknya kalian ini ketawa. Kayak nggak ada beban aja,” kata pak Edi, yang tiba-tiba berdiri di pintu kamar.


“Kalau kami emang nggak ada beban, pak. Mau apalagi coba. Tempat nginep disediain, makan dikasih. Selama 24 jam dijagain. Kurang enak apa coba hidup kita disini. Kalau nggak bersyukur, nanti Tuhan kasih teguran: Nikmat mana yang kamu abaikan,” sahut kap Yasin, masih dengan tertawa.


“Emang pada stres semua isi kamar 30 ini. Nambah babe masuk kesini, ya makin jadi gilanya,” ucap pak Edi, seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.


“Biasanya, yang ngomongin orang gila, sebenernya ya dia yang gila beneran, kap,” kataku, nyeletuk.


“Iya bener itu, om. Karena cuma orang gila yang tahu sesuatu itu gila. Kalau yang waras, nggak tahu,” sahut kap Yasin, terus tertawa.


“Sudah dulu sih ngebegonya. Lagian, kebanyakan ketawa nggak bagus buat lambung,” kata pak Edi, dan masuk ke kamarku.


“Apa hubungannya ketawa sama sakit lambung ya, baru denger ini aku,” kata Anton.


“Kalau kebanyakan ketawa, perut nggak ngisi makanan, lambung yang kena, Anton. Akhirnya penyakit magh dateng. Padahal, disini nggak ada obat magh itu,” jelas pak Edi.


“Banyaklah obatnya, pak. Ke poliklinik aja,” lanjut Anton, dengan cepat.


“Maksudnya obat magh itu, manggil: ma, mama, mama. Nggak nyambung bener anak bujang tua ini lo,” kata pak Edi, yang kemudian tertawa.


“Nah, akhirnya gila beneran kan pak Edi begitu masuk kamar kita. Ikut ketawa juga,” kata kap Yasin.


Pak Edi langsung terpingkal dan menarik tangan pak Waras. Keduanya sama-sama tertawa berkepanjangan, sambil tos-tosan.


Mendadak terdengar suara adzan dari masjid. Semua yang sedang tertawa, spontan menutup mulutnya. Semangat menghormati dan menghargai suara panggilan solat telah merasuk erat pada batin kami. Dan sesaat kemudian, masing-masing bergerak untuk mengambil peralatan solatnya, serta bergegas menuju Rumah Allah.


Seusai mengikuti solat berjamaah dan akan keluar masjid, tampak ustadz Umar sedang berdiri di pilar bagian depan. Aku dan Anton segera mendekati dan menyalami dengan kedua tangan kepada pria yang oleh anggota majelis taklim dipanggil dengan sebutan “Sang Guru” tersebut.


“Alhamdulillah, sehat semua ya. Teruslah kalian bersikap rendah hati, maka kalian akan seperti mentari. Bayangan kalian di permukaan air, tapi tempat kalian sangatlah tinggi,” kata ustadz Umar, seraya melepas senyum teduhnya.


“Aamiin, aamiin ya robbal alamin,” jawabku dan Anton. Setelahnya, kami bergerak meninggalkan masjid. Kembali ke kamar untuk mengikuti apel siang. (bersambung)

LIPSUS