Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 490)

INILAMPUNG
Jumat, 05 Mei 2023
Views


Oleh, Dalem Tehang


NGGAK kelihatan jelas kalau pak Hadi yang berdiri disini dan manggil-manggil tadi. Untung ada Teguh yang kasih tahu,” kataku, setelah bersalaman dengan pak Hadi.


“Aku juga paham, pak. Seumuran kita ini masih bagus nggak pakai kacamata minus terus,” sahutnya, sambil tertawa.


“Keren bener tampilan sore ini, emang mau kemana, pak?” tanyaku kepada pak Hadi. Yang petang itu memang tampil keren dan bergaya anak muda. 


“Kan mau malming, pak. Malem mingguan. Yah, buat ngehibur diri, sesekali pakai kaos dan celana gaya anak muda, kan nggak masalah,” jawab pak Hadi, dan tertawa ngakak.


Aku pun ikut tertawa mendengar pengakuan pak Hadi. Dan aku memang kagum dengan kepiawaiannya dalam mengelola jiwa serta pikirannya, sehingga pria yang dikenal sebagai pengusaha kopi tersebut, selalu tampak tenang, enjoy, dan penuh senyum. 


Bahkan, tidak pernah sekali pun aku melihatnya mengernyitkan dahi. Pertanda ada sesuatu yang tengah memenuhi pikiran dan mengoyak ketenangan batinnya. Wajahnya selalu sumringah meski menyiratkan ketenangan. Senyum dan tawanya selalu lepas, seakan tiada beban. 


“Kok jadi melamun, pak. Kalau mau ikutan malming, nanti habis isya, kesini aja,” kata pak Hadi, yang membuyarkan lamunanku.


“Bukannya ngelamun, cuma lagi bayangin gimana caranya bisa seperti pak Hadi. Yang selalu kelihatan cerah-ceria, tapi juga punya ketenangan yang luar biasa,” jawabku, terusterang.


“Nggak gitu juga kali, pak. Kebetulan aja pas kita ketemu, aku lagi seneng. Jadi pak Mario tahunya aku selalu ceria. Padahal, sering jugalah bawaan kesel bahkan menjurus ke putus asa,” sahut pak Hadi, dengan menunjukkan senyum lepasnya.


“Ya aku juga paham, kita kelihatan secara lahiriyah enjoy, seneng atau bahkan cuek itu, sebenernya kamuflase buat nutupi jeritan batin. Tapi beda sama pak Hadi. Aura batinnya keluar bersamaan dengan tampilan lahiriyah. Nah, gimana caranya bisa kayak gitu,” ujarku, dengan serius.


Pak Hadi tertawa ngakak. Ia menarik tanganku dan mengajak duduk di teras pos penjagaan dalam. Seorang tamping keamanan yang lewat di dekat kami duduk, langsung dimintanya membuatkan dua cangkir kopi panas. Dengan pesan, untukku minuman kopinya tanpa gula. 


Beberapa saat kemudian, tamping keamanan telah datang kembali dengan membawa dua cangkir berisi minuman kopi panas. Yang masih kedul-kedul. 


Dan pak Hadi tidak sekadar menyampaikan ucapan terimakasih, tetapi juga meng-kimel-kan selembar uang Rp 10.000 ke tangan tamping yang membuatkan kami minuman. Aku mendapatkan pengetahuan baru dalam hal membangun jaringan dari gaya pak Hadi tersebut.


“Penasaranku soal pembawaan pak Hadi yang bisa nyeimbangin bawaan batin sama lahiriyah tadi, belum dijawab lo,” kataku, saat kami sama-sama menyeruput kopi panas.


Kembali pak Hadi tertawa. Sambil sesekali menggelengkan kepalanya, pria dengan postur cukup tinggi dan besar ini, tampaknya belum mau menjawab pertanyaanku. 


“Nggak ada yang perlu pak Mario jadiin alasan buat penasaran melihat gayaku. Kita ini makhluk yang tinggal di dunia terbalik, ada yang nyebut hidup di dunia dalam dunia. Jadi, nggak perlu juga ada rasa penasaran sebenernya. Lepas-lepasin aja. Nikmati kehidupan disini sampai ke dasarnya,” ucap pak Hadi, beberapa saat kemudian.


“Maksudnya gimana sih, pak?” tanyaku, yang tidak paham perkataan pak Hadi.


“Sederhananya gini, nggak usah dipusingin. Nikmati hidup disini sesuai dengan yang ada di pikiran dan jiwa kita aja. Jangan kebawa suasana atau lingkungan. Dengan cara itu, mau seberat apapun situasi disini, kita tetep nyantai dan enteng-enteng aja,” tutur pak Hadi. Kali ini wajahnya berubah, serius.


“Tapi kan nggak mudah buat bisa begitu, pak,” ucapku.


“Emang apa sih yang mudah di dunia ini, nggak ada kan, pak. Mantepin aja di hati. Kalau kata bapak saya dulu: Carilah maka kamu akan menemukan. Ketuklah maka pintu akan dibukakan bagimu. Simpelkan sebenernya,” lanjut pak Hadi.


“Iya sih, simpel emang. Cuma kan nggak gampang nemuin alur dan jalaninya,” kataku, menyela dengan cepat.


“Nah, inilah masalahnya, pak. Kita nggak mau cari cara buat nggak ngerasa hidup terbatas begini. Kita nggak mau ngetuk biar pintu kenyamanan itu terbuka. Dan pak Mario perlu renungi, nahkoda yang baik itu bukan yang pandai mengemudikan kapal mengarungi gelombang, tapi yang tahu rahasia lautan. Jadi kuncinya ya disitu, kemampuan kita ngebuka rahasia lautan yang namanya rutaan ini. Aku tahu, semua emang perlu proses, pak. Yang penting, sebagai kawan, aku sudah kasih kisi-kisinya,” urai pak Hadi lagi. 


“Terimakasih sudah nurunin ilmu dan pengalamannya, pak. Walau aku masih ngeraba-raba buat mahami, apalagi jalaninya,” kataku. Terusterang.


“Kalau kata kawanku, semakin tua usia kita, semakin kita akan memilah dan memilih cara mana lebih mudah buat selesaiin masalah dan kekhawatiran kita, meski cara itu bukan cara yang kita suka. Begitulah dewasa, ada banyak hal yang harus dikorbanin,” ucap pak Hadi dan menebar senyum lepasnya.


Seorang sipir mendekat, dan menanyakan kepada pak Hadi apakah acara nanti malam jadi dilaksanakan. 


“Ya jadi dong. Tinggal nunggu komandan aja. Habis solat isya, kita mulai,” jawab pak Hadi.


“Oke kalau gitu. Nanti aku kesini lagi,” kata sipir yang bertugas di Blok A tersebut.


“Pak Mario mau ikut nggak. Kalau mau, habis solat isya, kumpul disini,” kata pak Hadi, sambil menatapku dengan serius.


“Emangnya mau kemana?” tanyaku. Penasaran. 


“Ya nggak kemana-manalah, pak. Kita ini kan tahanan, masak mau keluyuran di luar rutan. Nggak mungkin banget itu mah. Kecuali kita emang nekat mau kabur,” sahut pak Hadi, seraya tertawa ngakak.


“Maksudku, emang ada acara apa nanti malem, pak,” ucapku lagi, dengan nada kalem.


“Nanti mau ada acara lomba main catur, pak. Memperingati hari ulang tahun Kemenkumham. Acaranya di aula lantai dua kantor rutan. Kalau pak Mario mau dateng dan nonton orang main catur, aku tunggu disini selesai solat isya,” tutur pak Hadi. 


Aku langsung terdiam. Penjelasan pak Hadi meruntuhkan berbagai pikiran yang sebelumnya sempat berseliweran di kepalaku. Yang mengarah kepada aktivitas hura-hura. 


“Bukan nggak mau dateng atau nonton, pak. Tapi pak Hadi tahulah, aku bener-bener nggak paham permainan catur. Ketimbang nanti terus-terusan nguap karena kantuk, lebih baik aku nggak usah muncul,” kataku, setelah berdiam beberapa saat.


“Iya, aku paham kok, pak. Semua kita punya hobi dan bakat minat sendiri-sendiri. Seperti pak Mario yang rajin nulis di buku harian, aku malah sejak sekolah paling males nulis, bahkan sampai sekarang. Dan buatku, perbedaan hobi inilah yang bikin pertemanan jadi indah,” sahut pak Hadi dengan nada santai.


Senja telah mulai meredup. Pertanda mentari akan segera menidurkan wujudnya di ufuk barat. Setelah menghabiskan isi cangkir, aku berpamitan. Sambil berjalan menuju kamar, pikiranku kembali mengkancah perkataan-perkataan pak Hadi. Yang tampaknya sederhana namun sulit untuk bisa diterjemahkan dalam praktik nyata. (bersambung)

LIPSUS