Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 491)

INILAMPUNG
Sabtu, 06 Mei 2023
Views


Oleh, Dalem Tehang


SEUSAI mandi dan berganti pakaian, aku duduk di bidang tempat tidur. Mengambil buku dan pulpen yang dibelikan Teguh, khusus untuk menulis cerita pendek. Sambil mengingat pola penulisan yang disarankan Dian, aku pun mulai merancang kisah beberapa tahanan. 


Perlahan, aku mencoba menuangkan kisah seorang tahanan, yang menurutku, memiliki keunikan tersendiri. Namun, beberapa kali aku harus mencoret rangkaian kata yang telah tercetak di atas kertas. Karena tidak ketemu alurnya. Ditambah suasana petang menjelang Magrib saat itu, yang sangat ramai di luar kamar, membuatku susah berkonsentrasi.


Hingga adzan Maghrib menggema dari masjid dan semua warga binaan kembali masuk ke dalam sel masing-masing, baru beberapa baris kalimat yang bisa aku nilai sebagai rangkaian kata menyingkap kisah perjalanan hidup seseorang yang kini menjadi tahanan.


“Solat dulu, om. Nanti lanjut nulisnya,” ujar Anton, setelah ia berwudhu di kamar mandi.


Aku pun segera menaruhkan buku dan pulpen khusus untuk menulis cerpen, ke atas rak kecil yang ada di dekat tempat tidur. Dan setelah berwudhu, langsung bergabung dengan kawan-kawan untuk solat berjamaah di ruang bagian depan.


Dan seperti biasa, selepas solat Maghrib, aku langsung kembali ke bidang tempatku. Membaca Alqur’an, hingga suara adzan Isya dan dilanjutkan solat berjamaah. Seusai solat, kami makan malam bersama. Selalu diiringi dengan canda tawa. 


Apalagi malam itu kami memiliki banyak lauk. Ikan asin sambel hijau dan sayur asem berisi ceker ayam kiriman istriku, juga ada ayam geprek kiriman dari keluarga pak Ramdan. Tak ayal, nasi yang tersedia menjadi kurang, karena berseleranya kami menikmati makan malam. 


Karena telah berniat untuk membuat cerpen, aku langsung menggelar kasur di bidang tempatku, selepas makan malam. Mengambil asbak dan rokok, serta buku serta pulpennya. Pak Ramdan membuatkan minuman hangat; kopi pahit. Juga mengisikan tumbler air mineralku. Menaruhnya di samping aku yang menulis sambil menengkurapkan badan di atas kasur. 


Suara kawan-kawan yang berbincang di ruang depan, acapkali mengganggu konsentrasiku. Ditambah beberapa tahanan di kamar lain yang bernyanyi kencang diiringi tetabuhan dari galon air mineral, pun sendok dan garpu yang diketuk-ketukkan ke jeruji besi. 


Hampir saja aku menyerah untuk melanjutkan menulis cerpen pada saat itu. Namun, aku teringat motivasi sahabat dekatku: Dian, yang begitu tulus dan bersemangat. Pun, persetujuan istri dan anak-anak yang berharap aku melakukan sesuatu yang bisa mereka baca dan nikmati, membuatku terus berusaha untuk melawan suasana yang ada. Untuk pribadiku, menyerah sama artinya dengan bunuh diri. Satu sikap dan perilaku yang haram dilakukan.


Dalam kegundah-gulanaan tersebut, mendadak kembali terngiang perkataan pak Hadi saat kami bertemu di teras pos penjagaan dalam, petang tadi. Ia mengajarkan bagaimana kita mesti “melepaskan diri” dari suasana dan lingkungan rutan, dan “mengubah” situasi sesuai dengan alam pikiran dan jiwa kita. 


Menurut pak Hadi, dengan cara demikianlah, ketenangan dan kenyamanan akan bisa dirasakan. Tanpa pernah menyoal keberadaan lahiriyah yang sesungguhnya. Karena keterkungkungan hanya untuk badan, sedangkan pikiran dan jiwa tetap bisa berkelana kemana saja, sekehendak kita.


Setelah mampu menterjemahkan perkataan pak Hadi –yang awalnya sangat sulit untuk dipahami-, aku pun mencoba “memisahkan” keberadaan badan, pikiran, dan jiwa. 


Perlahan, aku terus menjauhkan jarak antara lahiriyah dengan batin dan pikiran. Hingga kemudian, aku merasa sama sekali tidak terusik oleh kebisingan yang ada di sekeliling. Seakan aku berada di dunia lain. Sendirian dan penuh ketenangan.


Saat itulah, dengan perlahan aku berucap di dalam hati: “Terimakasih, pak Hadi. Engkau telah mengajarkan satu ilmu yang tidak terbayang bisa aku amalkan!”


Dengan membaca Bismillah, aku kembali membuka buku, dan memulai menuliskan kisah seorang tahanan yang aku kenal sejak awal masuk rutan. Ketenangan yang begitu dalam, benar-benar ku manfaatkan dengan maksimal. Hingga sekitar dua jam kemudian, sebuah cerita pendek telah aku rampungkan. 


“Alhamdulillah, berkahi ya, Rabb,” ujarku, ketika sebuah cerpen telah selesai. 


Sambil menikmati sebatang rokok, dengan sesekali menyeruput kopi pahit, dan bersandar di tembok bidang tempat tidur, aku mengoreksi lagi tulisan yang telah selesai tersebut. Setelah merasa tidak ada salah ketik dan cukup tertata alur ceritanya, aku pun mengaktifkan telepon seluler. 


Menyalin tulisan di dalam buku ke hp-ku. Dan setelah semua cerita aku ketik ulang di telepon seluler, segera mengirimkannya kepada Dian melalui WhatsApp.


“Wah, sudah ada yang jadi ya cerpennya, bang. Sip, bang. Habis saya baca dan edit, langsung dikirim ke bang Ali,” sambut Dian, setelah menerima cerpen kirimanku dari dalam sel tahanan.


“Berkat motivasimu, Dian. Jadi semangat bikin tulisan. Terimakasih banyak dukungannya. Luar biasa,” balasku kepada Dian. 


Waktu telah melewati tengah malam, ketika aku mengemasi kembali buku, pulpen, dan asbak dari samping tempat tidur. Tentu saja kembali me-non-aktif-kan telepon seluler dan menyimpannya di bagian sudut kasur. Saat itulah, aku mulai mendengar ramainya suasana di dalam rutan. 


Masih banyak warga binaan yang bernyanyi penuh keriangan, bercengkrama diselingi canda tawa dengan sesamanya. Meski tetap berada di dalam sel masing-masing. 


Melihat aku telah merebahkan badan seusai menulis, kap Yasin meminta Anton dan beberapa kawan lain untuk memainkan musik khas rutan. Mendendangkan tembang-tembang dangdut diiringi musik dari tetabuhan peralatan alakadarnya. 


Tidak lama kemudian, suara Anton yang memang bagus, mengalun syahdu. Menyanyikan lagu-lagu kesayangannya. Hiburan ekstra semacam ini selalu muncul pada setiap malam Minggu. Meski tanpa ada komando, hampir semua kamar dipastikan akan mengisi malam akhir pekan dalam suasana penuh keceriaan dan kegembiraan.   


Sambil menikmati suara Anton diiringi tetabuhan alat musik khas rutan, aku pun mulai menguap dan akhirnya tertidur. Keriuh-rendahan yang ada di sekitar, sama sekali tidak lagi sebagai sebuah gangguan menikmati ketenangan untukku. Berkat ilmu yang diajarkan oleh pak Hadi. Seuntai pengetahuan dan pengalaman luar biasa yang lahir dari terpuruknya seorang anak manusia dalam menjalani kehidupan di neraka dunia. Penjara.


Suara muadzin yang mengumandangkan adzan Subuh dengan melengking, mengejutkanku hingga terbangun dari nyenyaknya tidur. Suara yang amat aku kenali. Yaitu suaranya Aris. 


Sejawatku sejak sama-sama mendekam di sel polres. Pria yang dulu pernah dikenal menjabat sebagai anggota Dewan dan pengusaha sukses. Yang harus menjalani kehidupan di balik jeruji besi akibat kasus korupsi proyek yang ia tangani. 


“Kok bisa Aris yang adzan ya, apa dia diem-diem sudah jadi tamping masjid. Apa masuk majelis taklim ya,” ucapku di dalam hati. 


Pikiranku spontan dipenuhi tanda tanya mengenai Aris. Sosok pria low profile yang amat bersahaja dan ringan tangan dalam membantu sesama. Rasa penasaranku yang meletup-letup, akhirnya agak mereda, saat menyadari bila hidup di dalam penjara harus menepikan jauh-jauh rasa penasaran, sebesar apapun rasa itu menggelegak di dalam jiwa dan pikiran. (bersambung)

LIPSUS