Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 492)

INILAMPUNG
Minggu, 07 Mei 2023
Views


Oleh, Dalem Tehang 


SETELAH mengikuti solat berjamaah Subuh di dalam kamar, aku kembali naik ke bidang tempatku. Mengaktifkan telepon seluler dan menyapa istriku. 


“Ayah terus sehat ya. Sudah mulai buat cerpen apa belum? Yang semangat ya. Kami semua sehat berkat doa ayah,” balas istriku, Laksmi, melalui chat-nya.


“Alhamdulillah, ayah juga terus sehat berkat doa bunda dan anak-anak. Alhamdulillah, semalem sudah mulai nulis cerpennya, bunda. Sudah ayah kirim ke Dian juga. Doain ayah terus semangat ya,” tulisku, menyahuti WhatsApp Laksmi.


“Alhamdulillah. Bunda sama anak-anak seneng lihat ayah banyak kegiatan positif. Terus manfaatin waktu buat lakuin hal-hal baik ya, ayah. Hindari apapun yang bakal buat hati dan pikiran ayah nggak tenang,” lanjut istriku, Laksmi.


Setelah sekitar 45 menit berkomunikasi dengan istri, telepon seluler kembali aku non-aktifkan. Beberapa saat kemudian, seperti biasa, aku, pak Waras, dan pak Ramdan berolahraga dengan mengitari lapangan sepakbola di dalam kompleks rutan.


Ketika kami berjalan di tepian lapangan yang dekat dengan pos penjagaan dalam, seorang sipir berpakaian lengkap, memanggilku. Aku pun keluar dari tepi lapangan dan menuju pos penjagaan. Ternyata, sipir berpakaian dinas lengkap itu, tidak lain adalah pak Manto. Yang sehari-hari menjabat kepala bagian umum.


“Masyaallah, sampai nggak ngenali, kalau pakai baju dinas sipir lengkap gini, pak,” ucapku, sambil menyalami pria yang selalu menunjukkan wajah simpatik dilengkapi dengan senyum lepasnya itu.


“Saya memang hanya pas piket aja pakai baju seragam begini, bang. Kalau hari Minggu saya kebagian piket. Minggu ini dari pagi sampai siang. Minggu depan piket siang sampai habis maghrib. Minggu depannya lagi, baru dari jam 19.00 sampai jam 07.00 pagi. Begitu putarannya,” tutur pak Manto, seraya memintaku duduk di kursi panjang yang ada di teras pos penjagaan dalam.


“O gitu, kirain yang bertugas di kantor nggak piket jaga warga binaan, pak,” sahutku.


“Semua pegawai yang ada disini, tetep dapet kesempatan piket sebagai sipir, pak. Masuk pada tim pengamanan yang saat itu bertugas. Manfaatnya buat kami, bisa lebih ngenali situasi dan kondisi dengan sebener-benernya. Yah, meminimalisir kalau ada hal-hal yang nggak diinginin aja sih,” jelas pak Manto.


Pak Manto memerintahkan seorang tamping kebersihan untuk membelikan dua bungkus nasi uduk, serta membuatkan kami minuman hangat. Sambil menikmati sarapan, aku terus menggali berbagai hal dari pak Manto mengenai kehidupan di dunia penjara. Baik di rutan maupun lapas. Sampai ia menceritakan, beberapa sipir senior memiliki panggilan khusus pada setiap tempat tugasnya.


“Maksudnya gimana sih, pak. Nggak nyambung aku,” ujarku, mengernyitkan dahi.


“Misalnya, waktu saya bertugas di lapas. Saya perkenalkan sama semua warga binaan kalau manggil saya dengan sebutan Abah. Kalau di rutan sini, pakai panggilan Bapak. Kalau suatu saat saya ketemu seseorang dan manggil dengan sebutan Abah, berarti dia kenal waktu saya bertugas di lapas. Sebaliknya, kalau manggil Bapak, artinya orang itu pernah di rutan ini,” tutur pak Manto, sambil melepas senyumnya.


“O gitu, bagus juga cara ngenali orang dengan memakai panggilan berbeda gitu ya, pak. Nggak kebayang sama aku, bisa kepikiran sampai kesitu,” sahutku, terusterang mengagumi kecerdikan jajaran sipir dalam menasbihkan dirinya dengan panggilan yang beragam.


“Sebenernya, nggak ada yang ngajari juga sih, bang. Kami ikuti kebiasaan senior-senior aja, dan sampai sekarang pola ini terus berjalan dengan alamiah di kalangan sipir penjara. Minimal kalau nama sipir itu dua kata, di rutan dia pasang label nama kata pertamanya, pas tugas di lapas dipasang di bajunya nama belakangnya aja. Ini sudah semacam tradisi yang nggak tertulis,” lanjut pak Manto.


“Tapi nggak semua sipir lakuin cara ini ya, pak?” tanyaku.


“Ya, memang nggak semua sipir pakai pola ini, bang. Karena nggak ada keharusan juga. Cuma kebanyakan, ya begitu. Maka abang jangan heran, kalau ada yang manggil saya Abah misalnya, berarti orang itu sebelumnya pernah jalani hukuman di lapas,” urai pak Manto lagi.


“Ngomong-ngomong, surat persetujuan jadi tamping sudah ditandatangan sama istri, pak. Tapi belum saya kasih ke Yoga. Mohon petunjuknya,” kataku, mengalihkan pembicaraan.


“Santai aja, bang. Besok pagi abang ikut sama Yoga ke kantor ya. Nongkrong-nongkrong dulu, sambil lihat apa tugas yang dikerjain Yoga. Ketimbang diem aja di kamar,” jawab pak Manto, dengan kalem.


“Tapi besok aku masih sidang, pak. Dengerin tanggepan jaksa atas pembelaanku dan kuasa hukum,” jawabku.


“Ya kan siang sih sidangnya, bang. Abang bisa main ke kantor dulu. Dari jam 9 sampai 11. Baru balik ke kamar, ganti pakaian terus ikut sidang,” ujar pak Manto, dan tersenyum lepas. Santai.


“Siap, pak. Terimakasih banyak sudah diberi  kesempatan begini baik,” kataku, sambil menundukkan wajah. Memberi hormat.


“Slow aja, bang. Saya juga seneng sama gaya abang. Yang nggak pusing mikirin soal vonis. Inshaallah, orang kayak abang ini nggak bakal terpuruk selama jalani hukuman. Malahan tetep seneng dan banyak kawan. Nggak banyak orang yang bisa kiati hidup di penjara seperti abang ini, walau memang ada beberapa orang juga yang kayak abang, cuek dan enjoy-enjoy aja,” ucap pak Manto.


“Buatku sederhana, nggak ada gunanya juga mikirin soal vonis, pak. Makanya, aku emang nggak mau main sejak awal. Pasrah dan ikhlas-ikhlas aja sama apapun nanti yang terjadi. Yang penting, terus bisa beraktivitas positif. Biar nggak sakit hati, nggak dendem, juga nggak terus-terusan nelongso,” tanggapku, sambil tersenyum.


“Cocok itu, bang. Semua ini kan sudah putaran kehidupan. Ada kebaikan ada kejelekan. Ada pahala, ada karma. Semesta yang gerakin semuanya atas nama Yang Kuasa. Kalau abang terus pertahanin sikap nggak pusingin soal hukuman dan terus aktivitas positif, disini nggak beda jauh sama di luar. Cuma gerakan badan aja yang terbatas,” lanjut pak Manto. Menyemangati.  


“Aku emang sudah bertekad mau nikmati semua ini dengan hati lapang, pak. Jadi tetep bisa lakuin hal-hal positif. Ngapain pusingin hal-hal yang ada di luar batas kendali kita,” sambungku, disertai senyuman lepas. (bersambung)

LIPSUS