Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 496)

INILAMPUNG
Kamis, 11 Mei 2023
Views


Oleh, Dalem Tehang


SUASANA kamar 30 cukup hening saat aku membacakan juz pamungkas Alqur’an tersebut. Semua menyimak dengan seksama. Hingga akhirnya surah An Nash sebagai penutup, selesai aku baca. Pak Waras langsung memimpin doa khataman.


Suaranya yang berat dan rangkaian doa yang penuh kekhidmatan, membuat kami semua menundukkan kepala. Menyatu dengan semua pengharapan kepada Yang Maha Kuasa. 


Bahkan tanpa terasa, aku menitikkan air mata. Untuk ke sekian kalinya, aku bisa khatam Alqur’an di dalam sel tahanan. Perasaan haru dan bahagia bercampur menjadi sebuah kesadaran untuk menanggalkan semua ketidakbenaran dan membangun kebaikan pada usia yang tersisa. 


Tepat pak Waras selesai memimpin doa khatam Alqur’an, suara adzan Isya berkumandang. Ia langsung meminta kami semua menjalankan solat berjamaah. 


“Mestinya, habis khataman gini, makan ayam ingkung. Gitu kalau di kampungku,” kata kap Yasin, saat kami akan makan malam bersama selepas solat Isya berjamaah.


“Inshaallah, besok malem kita makan ayam ingkung, kap. Nanti aku pesen ke istri dulu,” jawabku.


“Nggak usah, om. Bercanda aja kok aku tadi,” ujar kap Yasin dengan cepat. 


“Kap emang bercanda, ayah. Cuma kalau bisa diadain, kenapa nggak. Gitu kan, kap,” kata Teguh, menyela. Diiringi tawa ngakaknya.


“Nah, ini kebiasaan Teguh. Ngebantalin orang. Padahal, sebenernya dia yang pengen bener makan ayam ingkung,” tanggap kap Yasin, juga sambil tertawa. 


Dan seperti biasa, saat makan malam selalu menjadi kesempatan untuk kami 12 orang penghuni kamar 30 berbincang dan menceritakan hal-hal yang luput dari perhatian. Kali ini kembali pak Waras mengingatkan untuk segera memasang karpet plastik di kamar, karena banyak lantai yang keramiknya telah pecah dan berlubang. Sehingga menjadi rumah semut untuk beranak-pinak. 


“O iya, aku lupa sampein. Sudah dapet besaran biaya buat beli karpet plastiknya, pak. Harganya Rp 2 juta. Jadi, kita sokongan masing-masing Rp 200 ribu. Sisanya masuk kas,” kata kap Yasin.


“Ya paslah kap kalau sokongan masing-masing Rp 200 ribu. Kan kap sama pak Ramdan nggak nyokong,” ujar Anton, menyela dengan cepat.


“Iya juga ya. Berarti 10 orang yang wajib sokongan. Uangnya jadi Rp 2 juta. Pas buat beli karpet plastik kamar kita,” sahut kap Yasin. 


“Kapan terakhir sokongannya, kap?” tanya pak Waras.


“Sabtu nanti. Jadi, hari Senin depan sudah bisa kita pasang. Gimana, kawan-kawan setuju kan,” lanjut kap Yasin.


Semua penghuni kamar bersepakat menyerahkan uang sokongan untuk memasang karpet plastik paling lambat hari Sabtu, dan langsung diberikan kepada Anton sebagai bendahara kamar.    


Seusai makan malam dan tengah duduk santai di ruang depan sambil menikmati rokok serta kopi pahit, tiba-tiba Teguh mengajakku bicara. Empat mata.


“Ngobrol di tempat ayah aja. Ini rahasia,” ucap Teguh, dengan pelan.


Kami pun langsung bergerak. Meninggalkan beberapa kawan yang masih kongkow di ruang depan. Aku dan Teguh duduk di lantai atas. Bidang tempat tidurku. Terlindung tembok pembatas kamar mandi. 


“Ada peluang dapet rejeki. Tapi harus ayah yang turun tangan,” kata Teguh, setelah kami duduk di bidang tempat tidurku.


“Apa itu, Guh?” tanyaku.


“Ada kawan mau masukin botol –telepon seluler- tiga unit. Sudah coba deketi sipir, mereka minta bayaran sejuta. Kawanku ini cuma ada Rp 500.000. Kalau ayah bisa ngurus, uangnya buat ayah,” jelas Teguh.


“Aku nggak paham urusan gituan, Guh. Bilang ke kawanmu itu, kasih dulu ke sipir uang yang ada. Sisanya minta waktu. Toh, botol itu kan mau dia jual. Nanti kalau yang beli sudah bayar, kasih ke sipir sisa bayarannya,” ujarku.


“Untungnya kecil kalau kegedean biaya masukinnya, ayah. Ayah kan punya jaringan bagus sama sipir, bahkan komandan pengamanan kenal baik sama ayah. Apalagi kepala rutan sampai kasih dispensasi buat ayah pegang botol, tanpa bayar pula. Manfaatinlah, ayah. Kan nggak aneh-aneh ini barang yang ayah masukin,” sambung Teguh dengan penuh semangat.


“Maaf bener, Guh. Bukan nggak mau bantu. Justru karena kenal baik sama banyak sipir dan dapet perhatian khusus kayak gini, malah buatku nggak berani lakuin yang macem-macem. Jangan dikira aku bakal mentang-mentang atau petentang-petenteng karena kenal baik sama petugas disini, nggak bakalan itu aku lakuin. Apalagi mau manfaatin kebaikan mereka dengan aku berbuat sekehendak hati, nggak akan, Guh,” kataku dengan tegas.


“Jadi nurut ayah, gimana jalan keluarnya soal ini?” tanya Teguh. Terus berusaha agar aku mau membantu kawannya.


“Ya gitu tadi aja. Kasih uang yang ada ke sipir, sisanya nyusul,” ucapku.


“Kalau sipir itu nggak mau?” tanya Teguh lagi.


“Dicoba dululah. Jangan langsung nyimpulin gitu. Yang aku mau tanya, kalau botol itu bisa masuk, apa untungnya buat kamu, Guh,” kataku.


“Aku mau beli salah satu botolnya, ayah. Dikasih bayar nyicil lima kali dengan harga lebih murah sama kawan itu. Yang penting, aku bantu masukin barangnya,” jelas Teguh.


“Pantes ngotot, ternyata kamu ada keuntungan dengan masuknya botol itu ke dalem ya. Ya sudah, secepetnya kasih tahu kawanmu, apa yang aku saranin tadi. Kalau mentok juga, kita bicarain lagi,” ujarku, dan bergerak kembali menuju ruang depan untuk bergabung dengan kawan-kawan.


“Siap, ayah,” jawab Teguh, dan mengikuti langkahku.


“Kayaknya habis ada obrolan rahasia ya. Hati-hati aja, om. Teguh ini sering ngejebak orang. Makanya kemarin dia dijebak kawannya, sampai akhirnya ketangkep,” kata kap Yasin, saat aku dan Teguh kembali bergabung duduk di ruang depan.


“Nggaklah, kap. Masak mau ngejebak ayah sendiri. Aku tadi lagi konsultasi, gimana kalau pegang botol sendiri. Kan sekarang kap sudah ngizinin botol masuk kamar kita,” balas Teguh, seraya tersenyum cengengesan.


“Aku emang sudah kasih izin botol masuk sini. Tapi, kapan aku mau telepon, harus dipinjemi. Kalau disimpen buat kepentingan sendiri, wajib bayar. Ada uang kamar juga buat botol yang ada disini,” kata kap Yasin, dan tertawa ngakak.


“Kap mah seneng bener buat aku jantungan lo. Sempet kepikir aja, alangkah kejemnya disini kalau botol juga dikenain kewajiban uang kamar. Sudah ngalah-ngalahin penjara di luar negeri,” ujar Teguh, setelah berdiam beberapa saat.


“Ya nggaklah, Guh. Aku sengaja ngomong gitu, biar kita tetep bisa hargai sebuah kebahagiaan. Karena dengan omongan tadi, kamu pasti terkaget, dan sempet hilang rasa senengmu. Padahal, aku cuma bercanda. Ada pelajaran yang ingin aku sampein dengan gaya tadi,” tutur kap Yasin.


“Pelajaran apa pula ini, kap?” tanya Anton, menyela.


“Kalau lagi seneng jangan kelewat seneng, kalau lagi susah jangan kelewatan susahnya. Alias, ya biasa-biasa ajalah. Karena bahagianya seseorang itu ketika ia dihargai, perasaannya dijaga, dan keluh-kesahnya didenger,” kata kap Yasin.


“Tapi tadi kap malah buat Teguh sempat kayak mau kesel gitu,” celetuk Anton.


“Tadi kan Teguh nyampein keluh-kesahnya sama om Mario. Ngobrol berdua di dalem. Didenger dengan serius sama om Mario apa yang diomongin Teguh, bahagia dong dia. Terus aku mainin, kalau botol di kamar ini juga wajib bayar uang kamar. Hilanglah sesaat kebahagiaannya. Karena aku mainin perasaan dia. Ya itulah kehidupan. Kalau nggak pandai-pandai ngelola jiwa dan pikiran kita sendiri, nggak bakal kita bisa ngerasain ketenangan, apalagi bahagia dan nyaman,” urai kap Yasin. Kembali disertai tawa lepasnya. (bersambung) 

LIPSUS