Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 498)

INILAMPUNG
Sabtu, 13 Mei 2023
Views


Oleh, Dalem Tehang


“YA samalah, pak. Mana kebayang juga sama aku kalau disini bisa ngantor dari pagi sampai sore. Yah, dinikmati dan tetep disyukuri aja yang ada. Kan gitu ajaran pak Waras,” tanggapku, dengan tersenyum.


Tidak lama kemudian, Yoga benar-benar datang ke kamarku. Memakai kaos berkerah warna abu-abu, dengan tulisan “crew kantor” pada bagian depan yang relatif kecil dan tulisan yang sama dengan format lebih besar pada bagian belakang, pria yang tersangkut kasus senpi ilegal tersebut memakai celana jeans, serta bersepatu santai. Sepatu olahraga.


Saat melihatku telah berpakaian rapih, pria muda berwajah ganteng dengan postur ideal itu, tampak tersenyum.   


“Keren abang kalau sudah rapih begini. Aku yang muda jadi kalah penampilan. Bikin kecil hati aja,” ucap Yoga, seraya tertawa.


“Nggak usah ngalemin yang nggak jelas gitu, Yoga. Ini surat persetujuan jadi tamping, sudah ditandatangan istri,” kataku, dan menyerahkan selembar kertas berisi persetujuan keluarga untuk aku menjadi tamping pada bagian umum.


Setelah meneliti surat yang ada di tangannya, Yoga meminta tamping kunci untuk membuka gembok besar yang menempel di pintu masuk kamar sel, agar aku bisa segera keluar dan mengikutinya bertugas di ruangan bagian umum rutan. 


Ketika melapor pada pos penjagaan dalam, seorang sipir sempat mengomentari. Bila pilihanku menjadi tamping pada bagian umum semata-mata agar aku memperoleh kebebasan dengan maksimal selama menjalani hukuman. 


“Padahal, pilihan jadi tamping itu cuma status aja buat pakde. Nyantai dan bebas nerima tamu siapa aja di ruangan paling depan itulah, yang sebenernya ditarget pakde. Gitukan,” ujar sipir tersebut, tersenyum penuh arti. 


Sambil membalas senyum sipir tersebut, aku menganggukkan kepala. Membenarkan apa yang menjadi penilaiannya, meski tanpa mengeluarkan satu kata pun. Dan setelah menyalami sipir yang bertugas di pos dalam, aku dan Yoga meneruskan langkah. Menuju gerbang pembatas area steril.  


“Abang mau sama Yoga jadi tamping bagian umum ya?” sebuah suara yang aku kenali, tiba-tiba terdengar bersamaan dengan terbukanya pintu kecil pada gerbang besar pembatas area steril. Suara sipir Fani. 


“Rencananya gitu, Fani. Doain lancar ya prosesnya,” jawabku, dan menyalami Fani yang berdiri di balik gerbang tinggi besar tersebut.


“Bisaan aja abang ini. Milihnya jadi tamping bagian umum. Nggak banyak kesibukan tapi prestise. Mau terima kunjungan bisa kapan aja dan nggak perlu masuk ke dalem,” ujar Fani, seraya tersenyum.


“Ya kan sesuai arahanmu juga, Fani. Aku kan minta pertimbanganmu dulu sebelum ngelangkah ini,” kataku, juga sambil tersenyum.


“Oke, lanjut, bang. Yoga, jangan kamu minta abangku kerjain ini-itu ya. Cukup duduk anteng aja di atas sana. Jangan lupa sediain kopi pahit,” lanjut sipir Fani, kali ini disertai tawanya.


“Siap, dan!” jawab Yoga, dan mengajakku untuk meneruskan langkah memasuki ruang P-2-O. 


Sipir yang bertugas di ruangan spesial ini tidak banyak bertanya. Mereka sudah familiar dengan Yoga. Pun beberapa di antaranya telah mengenalku. Setelah menaiki tangga, sampailah kami di depan ruang kepala bagian umum. Pak Manto tampak tengah membaca surat yang ada di mejanya.


“Masuk, bang. Santai aja dulu disini. Nanti sebelum jam 11 dianter Yoga balik ke kamar, karena abang mau sidang,” kata pak Manto, menyambutku.


Setelah menyalami kepala bagian umum rutan yang dikenal ramah tersebut, aku pun duduk di kursi yang biasa ditempati Yoga. Memperhatikan berkas-berkas yang ada di lemari. Begitu penuh dan tidak tertata dengan rapih.


Mataku mendadak melihat banyak kantong plastik besar berisi berbagai bahan makanan dan minuman, berada di sudut kanan ruangan. Aku memperhatikan isinya. Mulai dari tepung terigu, minyak goreng, gula pasir, bungkusan kopi dan teh, serta beberapa lainnya.


“Buat apa itu, pak. Kan belum bulan puasa, kok sudah siapin bingkisan lebaran,” kataku, sambil melihat ke arah pak Manto yang masih serius membaca berkas yang ada di mejanya.


“Oh barang-barang itu, bang. Ya buat semua pegawai disini. Setiap bulan, kami nyisihin anggaran untuk beli berbagai bahan pokok, dan dibagi ke semua pegawai, termasuk sipir. Jadi bukan cuma pas mau lebaran aja,” jelas pak Manto.   


“Bagus juga, pak. Jadi semua pegawai semacem dapet tambahan vitamin dalam bekerja ya. Pantes aja semua pegawai disini selalu kelihatan penuh semangat,” tanggapku, dengan apa adanya.


“Cara pimpinan kasih perhatian lebih ke staf itu kan beda-beda, bang. Kalau disini, ya dengan membagi bahan makanan dan minuman ginilah. Nggak pernah kami wujudin berupa uang. Dengan kasih barang begini, kami semua merasa sama posisinya. Nggak ada beda. Hanya kebetulan ada yang tugas sebagai staf di kantor, ada yang jadi sipir. Intinya, kebersamaan yang kami utamain,” urai pak Manto.


“Hebat cara kasih perhatian lebih dengan pola ini, pak. Kelihatannya sederhana tapi punya nilai kebersamaan yang kuat. Kagum aku dengan polanya,” ujarku, terusterang.


Pak Manto menjelaskan, sebagai tamping pada bagian umum, nantinya aku akan mendapatkan jatah makan siang. Tentu saja dengan minuman kesukaan. Seperti juga yang diterima Yoga selama ini. 


“Tapi nggak usah cerita ke tamping bagian lain, bang. Kan nggak semua tamping yang tugas di kantor dapet jatah makan siang. Malah timbul kecemburuan nanti,” ucap pak Manto, dengan wajah serius.


“O gitu. Alhamdulillah. Iyalah, pak. Nggak mungkin aku cerita ke orang lain soal ini. Adanya jatah makan siang itu kan karena kebijakan pak Manto aja, bukan kewajiban institusi,” tanggapku, juga dengan serius.


Ketika waktu menunjukkan pukul 10.30, aku berpamitan kepada pak Manto. Untuk kembali ke kamar dan bersiap-siap mengikuti persidangan. Pak Manto menugaskan Yoga mengantarku hingga ke luar ruang P-2-O. Setelahnya aku berjalan sendirian kembali ke kamar.


Karena badan berkeringat, aku pun memilih mandi untuk kedua kalinya sebelum memakai pakaian khas peserta sidang. Kemeja putih lengan panjang, celana berdasar kain warna hitam, berkopiah hitam, dan memakai sepatu juga warna hitam. 


“Ayah sudah siap ya. Kalau sudah, ayo kita ke pos buat melapor,” kata Teguh, yang juga akan mengikuti sidang. 


Tepat jam 11.20, aku keluar kamar, sambil membawa buku catatan, pulpen, dilengkapi kacamata lipat serta rokok dan koreknya. Teguh yang berjalan di sampingku, tampak sesekali bersiul ringan. Tidak kelihatan sama sekali kegalauannya menghadapi persidangan kasusnya. (bersambung)

LIPSUS