Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 499)

INILAMPUNG
Minggu, 14 Mei 2023
Views


Oleh, Dalem Tehang


SENENG bener kayaknya kamu mau sidang hari ini, Guh,” kataku.


“Kan ayah yang ngajari, ngadepin sidang itu dibawa santai aja. Dongakin wajah, tatapin mata ke depan. Jangan nunduk. Ya aku ikutilah omongan ayah,” sahut Teguh, seraya tersenyum.


Mendengar jawaban anak muda yang terlilit kasus narkoba enam kilogram itu, aku juga tersenyum. Bagiku, gaya Teguh yang slengek-an, adalah hiburan tersendiri.


Sebanyak 52 tahanan telah berkumpul di depan pos penjagaan dalam, ketika dilakukan absensi oleh sipir yang bertugas. Dan bersamaan dengan terdengarnya suara adzan Dhuhur dari masjid, kami bergerak menuju pos penjagaan luar untuk selanjutnya memasuki ruang P-2-O dan berangkat menuju gedung Pengadilan Negeri. 


Diangkut dengan dua kendaraan khusus tahanan, hanya perlu waktu tidak sampai 45 menit untuk kami berpindah lokasi. Dari rutan ke area gedung Pengadilan Negeri.    


Dari jendela mobil tahanan yang hanya dilapisi teralis besi tanpa kaca, aku melihat istriku Laksmi, adikku Laksa, juga Makmun dan tim pengacaraku, berdiri di dekat tangga menuju ruangan sel sementara yang ada pada bagian bawah gedung Pengadilan Negeri. 


Hati dan pikiranku langsung tenang dan senang melihat kehadiran mereka. Apalagi tampak sekali mereka menungguku turun dari kendaraan. Wajah ku pun penuh ceria dan selalu tersenyum. Seakan tidak ada beban sama sekali.


Aku menjadi orang terakhir yang turun dari mobil tahanan. Dan istriku langsung berlari. Memelukku dengan erat. Disusul Laksa. Sambil berjalan menuruni tangga, Makmun dan timnya menyalamiku.


Seperti biasa, aku langsung berjalan bersama keluarga menuju ruangan tersendiri yang ada pada bagian belakang sel-sel sementara. Para pengawas tahanan dari Kejaksaan Negeri telah cukup familiar denganku. 


Mereka hanya menengokkan wajahnya sesaat dan seakan tidak mengetahui bila aku tidak masuk sel seperti tahanan lain yang akan mengikuti persidangan.


Tentu semua perlakuan khusus tersebut tidak lahir dengan sertamerta. Melainkan melalui pendekatan dengan fatsun: saling menguntungkan tanpa menimbulkan persoalan. 


Kesepahaman merupakan perilaku yang mesti dihadirkan dengan nyata, ketika kita berkutat dengan persoalan hukum. Karena tanpa kesepahaman, nafas keadilan yang diharapkan hadir dari dunia hukum, dipastikan akan berubah menjadi cengkeraman bak balas dendam pada lazimnya praktik kekuasaan.


Seusai aku melaksanakan solat Dhuhur, istriku langsung membuka nasi kotak yang telah disiapkannya. Kami pun makan siang bersama. Dengan lauk ayam goreng ditambah telur dadar.


Makmun dan timnya banyak menguraikan segala kemungkinan yang akan disampaikan jaksa penuntut umum dalam menanggapi pembelaan kami. Yang hal tersebut akan mempengaruhi majelis hakim saat mengambil keputusan.


“Intinya, semua proses hukum kita ikuti aja dengan baik. Kita serahin sama Tuhan, apapun nanti yang diputusin majelis hakim itulah yang terbaik. Takdir itu nggak pernah salah, juga nggak pernah jelek. Dan aku, pasti nerimo,” ucapku, menimpali berbagai uraian tim pengacara. 


Selepas makan siang bersama, Makmun dan timnya keluar ruangan. Naik ke lantai atas, tempat ruang-ruang persidangan berada. 


Ketika tinggal aku, istriku Laksmi, dan adikku Laksa, baru aku menyampaikan informasi dari kawan yang menyatakan, bila majelis hakim telah menetapkan hukuman penjara buatku. 


Mendengar masa hukuman yang mesti aku jalani nanti, baik istriku maupun Laksa, hanya diam. Wajah mereka pun tidak ada perubahan sama sekali. 


“Bunda sama anak-anak ikhlas apapun takdir ayah. Jadi, mau divonis berapa pun juga, inshaallah nggak buat hati kami nelongso. Sudah suratan tangan ayah harus begini. Kita lihat aja, bener nggak info kawan ayah itu. Biar waktu yang buktiinnya,” kata Laksmi, setelah cukup lama berdiam diri.


“Inshaallah, keikhlasan bunda dan anak-anak akan berbuah kebaikan buat kita sekeluarga,” sahutku, dan memeluk Laksmi dengan erat. 


Dengan gerakan perlahan, ia menaruhkan kepalanya di pundakku. Penuh ketenangan. Tidak ada sama sekali getaran pada badannya, yang menandai bila jiwa istriku terguncang mendengar kabar dari kawan mengenai vonisku yang akan disampaikan majelis hakim dalam persidangan mendatang.


“Kakak tetep tenang ya. Manusia bisa berencana tapi tetep Allah itulah penentunya. Percaya aja, saat kita ikhlas dengan keadaan yang ada, disitulah Allah rencanain kebahagiaan. Allah mampu ngubah situasi yang paling terpuruk sekalipun jadi momen terbaik dalam hidup kita. Yang penting, tetep sabar dan jaga keikhlasan,” kata adikku, Laksa, dengan suara bergetar.


Tepat saat aku akan membuka mulut untuk menyahuti perkataan Laksa, tiba-tiba datang pegawai kejaksaan, dengan membawa rompi warna merah. Pertanda saatnya aku keluar sel sementara dan memasuki ruang persidangan. 


Setelah memakai rompi ciri khas pesakitan tersebut, aku pun melangkahkan kaki. Istriku Laksmi dan Laksa berjalan terlebih dahulu ke lantai atas, tempat beberapa ruang sidang berada. Sementara aku harus berbaris bersama tahanan lain untuk berjalan beriringan menuju tempat sidang masing-masing.


Setelah memasuki ruang sidang, aku langsung duduk di samping istriku, diapit Laksa. Setidaknya ada tujuh tahanan yang sama-sama akan mengikuti persidangan di ruangan yang sama. Melihat jaksa penuntut umum yang bertugas menangani perkaraku telah menempati kursinya, hati ku pun tenang. Menandakan persidanganku akan digelar lebih dahulu dibanding kawan-kawan yang lain.


Dan benar saja. Beberapa saat kemudian tiga orang hakim yang menyidangkanku, memasuki ruangan. Setelah kami yang ada di ruangan berdiri dari tempat duduk masing-masing untuk memberi penghormatan atas kehadiran para Wakil Tuhan tersebut, tim pengacaraku bergerak menuju tempatnya.


Seusai mengetukkan palunya ke meja sidang sebagai pertanda persidangan dimulai, ketua majelis hakim memanggilku untuk duduk di kursi pesakitan. Sebelum melangkahkan kaki, aku menyalami istriku dan Laksa.


Setelah aku duduk di kursi yang disediakan dan majelis hakim menanyakan kondisi kesehatan juga kesiapan mengikuti persidangan, proses pun langsung berjalan. Jaksa menyampaikan tanggapan atas pembelaanku dan tim pengacara. 


Hampir 25 menit jaksa memberikan tanggapannya. Dengan berbagai argumentasinya. Dan selepas itu, ketua majelis hakim menyatakan, sidang berikutnya yaitu tiga hari ke depan, beragendakan membacakan keputusan majelis hakim.


“Hari Kamis nanti pembacaan keputusan majelis hakim. Semua harus hadir, utamanya terdakwa. Karena waktu kita sudah sangat pendek,” kata ketua majelis hakim, yang langsung menutup persidangan. 


Seperti biasa, sebelum meninggalkan tempat sidang, aku menyalami majelis hakim. Saat bersalaman dengan salah satu anggota majelis hakim, dengan suara perlahan aku menyampaikan terimakasih karena telah menetapkan masa hukumanku.


Spontan, wajah teduhnya berubah. Memerah. Tanganku sempat agak lama digenggamnya. Sambil tersenyum, dengan pelan aku menarik tangan dari genggamannya. Dan langsung membalikkan badan untuk menyalami tim pengacara juga dua orang jaksa penuntut umum. (bersambung)

LIPSUS