Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 500)

INILAMPUNG
Senin, 15 Mei 2023


Oleh, Dalem Tehang  

  

SEKEMBALI ke ruang khusus pada bagian belakang sel sementara di bawah gedung Pengadilan Negeri, aku langsung solat Ashar. Diikuti Laksa. Tidak lama kemudian, Makmun pengacaraku, datang.


Setelah berbicara panjang lebar untuk memberi semangat kepadaku terkait akan jatuh vonis pada tiga hari mendatang, lawyer yang sejak masa kuliah sudah mengenal baik keluargaku ini, akan berpamitan. 


“Kamu nggak usah ragu ya, Makmun. Inshaallah, aku sudah ikhlas dengan ini semua. Termasuk berapa nanti vonisnya, aku sebenernya sudah tahu,” kataku, ketika ia bersalaman untuk berpamitan.


“Oh ya. Mas sudah tahu bakal divonis berapa lama?” tanya Makmun dengan mata terbelalak. 


Aku hanya tersenyum. Dan sambil memberi isyarat melalui jari tangan sesuai informasi yang aku terima mengenai putusan majelis hakim untuk menghukumku, aku menepuk-nepuk bahu Makmun.


“Terimakasih atas semua bantuan dan dukungannya. Hanya Allah yang bisa membalas. Juga terimakasih atas konsistensimu jaga integritas sebagai pengacara yang ngawal marwah keadilan. Walau faktanya, dunia hukum kita masih dihiasi permainan pragmatis itulah. Setiap pasal ada harganya, dan hampir semua yang bermasalah dengan hukum, paham betul itu semua,” ucapku dengan panjang lebar. 


Makmun terdiam. Ia hanya menundukkan wajah. Aku memahami, sebagai pengacara yang menurut perundang-undangan merupakan bagian tidak terpisah dari aparat penegak hukum, ia merasakan sesuatu yang menyakitkan pada batinnya. Perjuangan kerasnya untuk menegakkan hukum dalam strata keadilan, ternyata, dengan begitu mudah bisa diungkap cerita akhirnya, meski secara resmi keputusan belum diketuk-palukan.


“Kok bisa gitu ya?” celetuk Makmun, seakan tanpa sadar.


“Aku juga dulu nggak pernah duga kalau ternyata begini dunia hukum kita. Tapi setelah masuk, akhirnya tahu persis lika-liku permainannya. Pengalaman belasan kawan yang sekarang di dalem, adalah fakta yang bisa jadi tambahan pengetahuan. Sebenernya, ya lumrah aja sih. Di saat orang terdesak, ia pasti akan lakuin apa pun juga buat keluar dari keterdesakannya. Nah, ini yang dimanfaatin. Terjadilah hubungan simbiosis-mutualis. Saling menguntungkan,” lanjutku, dengan santai.


“Nggak saya sangka, karena nangani perkara ini, jadi dapet pengalaman yang luar biasa,” ujar Makmun, dan mencoba melepas senyumnya. Meski hambar.


“Alhamdulillah. Ambil aja positifnya. Dan sebenernya, setiap peristiwa pasti bawa pelajaran untuk kita. Tapi semua kembali ke diri kita, bisa nggak nemuin pengetahuan di dalemnya,” sahutku, tetap dengan santai.


“Oke, mas. Saya pamit dulu ya. Tetep jaga kesehatan,” kata Makmun, dan kemudian bersalaman kembali serta bergerak meninggalkan aku, istriku, dan adikku Laksa yang masih berada di ruangan khusus tersebut.


Sepeninggal Makmun, kami bertiga sempat diam beberapa waktu. Hingga istriku mengeluarkan beberapa minuman kaleng dan roti. Untuk menemani kebersamaan kami.


“Kelihatan bener kalau Makmun kaget gitu ya dengan yang kakak omongin. Padahal, dia sudah cukup lama jadi lawyer,” kata adikku Laksa, sambil menikmati minuman yang dibawa istriku.


“Mungkin karena dia selama ini jalani tugas profesinya on the track aja, dek. Yang penting, berjuang sesuai dengan kaidah-kaidah hukum. Dia nutup mata sama apa yang jadi pernak-pernik di sekitarnya. Padahal, justru itulah penentu keputusan hukum. Bukan berbagai kajian aturannya,” sahutku, mengira-ngira “keluguan” Makmun sebagai seorang pengacara.


“Memang berat ternyata perjuangin kebenaran itu ya, kak. Karena banyak hal di sekitar kita yang justru jadi batu sandungannya,” ucap Laksa lagi.


“Nggak ada yang mudah emang, dek. Tapi kita jangan pernah ngalah untuk sebuah kebaikan, juga jangan nyerah pada satu keyakinan dan niat baik. Dan jangan pula pernah berpikir jelek pada takdir. Karena takdir adalah kehendak Yang Kuasa. Tugas kita cukup ikhtiar dan jangan pernah tinggal dari berdoa. Sebab, doa adalah kehendak kehidupan,” kata istriku, menimpali.


“Banyak pelajaran hidup yang kita dapet selama ini ya, bunda dan adek Laksa. Kita ikuti aja pesen seseorang yang pernah bilang begini: jadikanlah pandanganmu ke langit lebih panjang daripada pandanganmu ke bumi, maka kamu akan dapatkan apa yang diinginkan. Inshaallah,” ucapku, dan merangkul Laksmi serta Laksa.


Sebelum meninggalkan ruangan khusus setelah pegawai Kejaksaan Negeri menyusulku untuk segera naik ke mobil tahanan dan kembali ke rutan, aku meminta Laksmi menyiapkan beberapa kaos berkerah yang nantinya dibordir dengan tulisan “crew kantor”. 


“Gini aja, ayah fotoin baju tampingnya si Yoga. Kirim ke bunda. Biar sama pola tulisannya. Nanti bunda segera siapin, biar ayah pede juga jalanin tugas sebagai tamping bagian umum itu,” tanggap istriku Laksmi.


Dua kantong plastik berisi berbagai makanan, termasuk dua ekor ayam ingkung, aku bawa keluar ruangan sel khusus. Sebelum naik ke mobil tahanan, aku peluk Laksmi dengan erat. Menumpahkan semua rasa yang ada. Mengelus wajahnya. Merapihkan jilbabnya. 


Pun kepada Laksa, yang selalu setia mendampingiku juga anak istriku. Sambil memeluk penuh keharuan, aku terus menitipkan keluargaku juga memintanya tiada henti untuk mendoakan.  


“Kakak nggak usah banyak pikiran. Tetep sabar dan ikhlas aja. Perbanyak kegiatan positif di dalem. Nikmati dan terus syukuri semuanya. Pada saatnya, Allah pasti akan kembali ngangkat kakak di kehidupan yang lebih baik, inshaallah,” kata Laksa, menatapku dengan serius.


Tanpa banyak kata, aku langsung naik ke mobil tahanan. Dan seperti biasanya, duduk tepat di belakang pengemudi. Berdampingan dengan Teguh yang telah mengambil posisi terlebih dahulu. Ketika kendaraan bergerak, aku melambaikan tangan dari balik jendela yang tidak berkaca. Istriku Laksmi dan adikku Laksa juga melakukan hal yang sama. Tetap ada keharuan yang sulit diungkapkan setiap kali kami mesti berpisah di pelataran gedung Pengadilan Negeri. 


Teguh mengeluarkan rokoknya. Memberiku satu batang. Juga beberapa tahanan lain yang duduk di dekat kami. Tidak berselang lama, kepulan asap pun berseliweran di dalam mobil, yang tak lama kemudian terhempas oleh angin dari luar jendela.


“Kayaknya lagi ada yang dipikiran ya, makanya ayah dari tadi diam aja,” kata Teguh.


“Emang ada yang lagi aku pikirin, Guh. Sekali lagi aku naik mobil tahanan kayak gini, setelahnya diem di dalem rutan sampai masa hukuman selesai,” jawabku, dengan tersenyum.


“Oh ya. Sidang sekali lagi, putus ya perkara ayah?” tanya Teguh.


Aku hanya menganggukkan kepala. Juga dengan tetap mencoba melepas senyuman. Meski senyum hambar dan tiada makna. (bersambung) 

LIPSUS