Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 501)

INILAMPUNG
Selasa, 16 Mei 2023


Oleh, Dalem Tehang

  

SETIBA di pelataran rutan, kami turun dengan tertib dari dalam mobil tahanan. Dan kembali aku yang terakhir. Dua kantong plastik berisi berbagai makanan pemberian istri dan adikku Laksa, dibawakan Teguh.


“Tumben nggak ada tentengan, om,” sapa seorang sipir P-2-O ketika melihatku jalan melenggang memasuki ruang pemeriksaan awal tersebut.


“Itu, sudah dibawain Teguh,” jawabku, sambil menyalaminya.


“Oh, kirain nggak ada keluarga yang dateng ke pengadilan, makanya om jalan santai kayak gini,” lanjut sipir itu, dan tersenyum sumringah.


“Ada asisten sekarang, pak. Namanya Teguh. Kawan sekamar,” ucapku, dan menunjuk sosok anak muda bertubuh atletis dengan wajah ganteng tersebut.


“O itu asistennya ya, om. Biar aku kenali. Kayaknya baru mulai sidang ya dia. Pasti sering bolak-balik nanti,” kata sipir berusia sekitar 35 tahun itu.


“Iya, emang baru beberapa kali sidang. Kayaknya masih lama vonisnya. Tolong nanti dibantu kalau dia pemeriksaan disini,” ujarku lagi. 


“Siap. Kalau masih kolega om, apalagi asisten, ya pasti aku perhatiinlah. Tenang aja, om,” sambung sipir tersebut, dan kembali tersenyum sumringah. 


Ketika proses pemeriksaan berlangsung, aku berdiri disamping Teguh. Ku bisikkan untuk ia menyiapkan uang Rp 20 ribu, dan memberikan kepada sipir yang tadi berbincang denganku. 


“Ngapain ngasih ke orang itu, ayah. Meriksa juga nggak dia,” sahut Teguh, dengan suara pelan.


“Kasih aja, nggak usah protes. Nanti kamu yang dapet manfaatnya,” kataku, dengan sedikit penekanan.


Sipir yang melakukan pemeriksaan barang bawaanku yang ditaruh di lantai tempat Teguh berdiri, hanya membuka kantong plastik sesaat. Tanpa mengeluarkan satu pun barang di dalamnya.


“Punya pakde ini ya,” kata sipir itu, sambil berdiri dan menatapku. 


“Iya, punyaku. Teguh ngebawain aja,” jawabku, tegas.


“Oke. Aman kalau barang pakde mah. Nggak mungkin kan tamping bagian umum masukin barang terlarang,” kata sipir itu lagi.


“Calon tamping, belum resmi,” sahutku dengan cepat, dan tersenyum.


Sipir itu menengokkan wajahnya ke arah tangga. Aku pun mengikuti arah pandangannya. Ternyata disana berdiri sambil melepas senyum, pak Manto. Didampingi Yoga.


Spontan aku mengangkat tangan. Memberi hormat kepada kepala bagian umum rutan tersebut. Pak Manto membalas hormatku, dan kemudian berjalan mendekat ke barisanku. Ia menyalamiku dengan genggaman erat.


“Semua kawan di P-2-O sudah saya kasih tahu, kalau abang tamping bagian umum. Jadi, mereka paham mesti perlakuin abang kayak mana,” ucap pak Manto dengan pelan. Tetap ada senyum di sudut bibirnya.


“O gitu. Terimakasih, pak,” sahutku, juga dengan pelan dan menundukkan wajah. Memberi hormat. 


Sesaat kemudian, pak Manto bergeser. Dan menuju pintu gerbang utama rutan. Untuk pulang. Yoga mendekatiku. Mengambil dua kantong plastik bawaanku yang ada di depan Teguh, dan membawanya.


“Aku anter duluan barang abang ke kamar ya,” kata Yoga, yang langsung berjalan keluar melalui pintu kecil yang membelah gerbang besar ruangan P-2-O.   


Pemeriksaan pun selesai. Sipir yang pertama kali menyapaku, membukakan pintu gerbang. Ketika kami mulai berjalan, aku menyenggol badan Teguh. Mengingatkannya untuk memberikan uang kepada sipir tersebut.


Tepat saat kakinya melangkah keluar ruang P-2-O, Teguh menyalami sipir yang menjaga pintu dan menggenggam tangannya. Memasukkan selembar uang. Melihat gerakan anak muda yang terlilit kasus narkoba itu, aku pun tersenyum puas. 


“Terimakasih, om. Terus jaga kesehatan,” ucap sipir tersebut saat aku melewatinya untuk kembali berbaris di halaman depan kantor rutan.


“Aneh sipir tadi itu. Aku yang kasih dia uang, eh terimakasihnya ke ayah,” kata Teguh, ketika kami berdiri berdampingan untuk kembali menjalani pemeriksaan yang dilakukan sipir pos penjagaan luar didampingi tamping regis.


“Karena dia tahu, aku yang kasih kamu ide, Guh. Besok-besok, pas kamu pulang sidang, kalau kamu kimelin lagi, ya pasti ke kamu terimakasihnya. Semua ada proses yang mesti dilewati, dan dengan caranya tadi, kita bisa tahu kalau sipir itu orang yang ngerti seni bergaul,” jawabku, panjang lebar.


Pemeriksaan kedua di halaman depan kantor rutan berlangsung singkat. Dan setelah pintu gerbang untuk memasuki area steril dibuka, kami semua berjalan dalam dua barisan untuk menuju pos penjagaan dalam. Tamping regis yang mendampingi kami, melapor ke dalam ruangan pos.


Dua orang sipir keluar dari ruangan dan mengabsen. Setelah meyakini semua sesuai data, kami pun dipersilakan kembali ke kamar masing-masing. Tentu tetap dengan ketentuan tidak tertulis, melalui ruangan pos untuk memberi “uang sepemahaman”, dimasukkan ke dalam kotak air mineral yang dijaga tamping pos keamanan, dan setelahnya keluar dari pintu samping. 


Baru saja aku mengikuti Teguh masuk ke dalam ruangan pos penjagaan dalam, tiba-tiba terdengar suara keras: “Dua orang ini biar lewat aja. Nggak laku duitnya buat kita!”


Aku langsung menengok ke arah sumber suara. Ternyata sipir Mirwan yang berteriak, sambil ia terus asyik bermain catur di sudut ruangan pos penjagaan.


“Terimakasih, dan,” kataku kepada sipir Mirwan.


“Jangan panggil dan gitu dong, bang. Bisa kuwalat aku. Lebih baik abang suruh gebukin orang ketimbang abang manggil aku dan. Nggak pantes aku jadi komandan abang,” sahut sipir Mirwan, dan tertawa ngakak. 


Aku pun tertawa, dan sambil mengangkat tangan ke arah sipir Mirwan, aku menarik tangan Teguh untuk segera keluar ruangan pos penjagaan dalam melalui pintu samping seperti tahanan yang lain.


“Ada-ada aja ya kalau jalan sama ayah ini. Ketemu sipir yang baik, yang nyeleneh, bahkan pernah ketemu sipir yang sok galak. Kenapa bisa gitu ya, ayah,” ucap Teguh, saat kami berjalan di selasar untuk menuju pintu gerbang utama Blok B.


“Nggak semua hal mesti dipikirin, Guh. Dibawa senyum, dinikmati, dan enteng-enteng aja nemuin apapun disini,” sahutku, sambil merangkul badan Teguh.


“Tapi aku, juga Anton, sering penasaran lo, ayah. Kami sering ngobrol berdua. Ngebahas ayah. Kok bisa sipir yang dikenal galak disini, hubungannya baik sama ayah. Ipis-ipis yang dikenal brengsek, juga berkawan sama ayah,” kata Teguh lagi. Dari nada suaranya aku tahu, ia ingin banyak belajar mengenai berbagai hal sebagai pewarna kehidupan. (bersambung)

LIPSUS