Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 502)

INILAMPUNG
Rabu, 17 Mei 2023


Oleh, Dalem Tehang 


KUNCINYA sederhana kok, Guh. Tetep rendahin hati, jaga adab, dan jaga tutur kata. Dan yang lebih penting lagi, terus jaga kedekatan sama Tuhan. Karena cuma Dia yang bisa bolak-balikin hati semua makhluk-Nya. Nggak hanya manusia, termasuk para ghaib yang ada di rutan ini,” jawabku, dengan santai. 


“Ayah percaya ya, kalau disini banyak makhluk ghaibnya?” tanya Teguh.


“Ya percayalah, Guh. Bahkan jumlah mereka jangan-jangan lebih banyak dari kita. Dan percaya sama yang ghaib itu salah satu syarat iman. Nggak beriman kita, kalau nganggep yang ghaib itu nggak ada,” kataku.


“Ayah bisa ngelihat atau ngobrol sama yang ghaib nggak?” tanya Teguh lagi.


“Ya nggak bisalah, Guh. Aneh-aneh aja kamu ini. Namanya kan makhluk ghaib, artinya nggak kelihatan. Mana bisa aku ngelihatnya. Wong ngelihat dari jarak 10 meteran aja sudah hawer-hawer mata ini ngenalinya,” sahutku, dan tertawa ngakak melihat keluguan pemuda yang tinggal satu sel denganku ini.


Kami masuk kamar bertepatan dengan kawan-kawan selesai solat Maghrib berjamaah. Pak Waras meminta agar kami langsung solat. Setelah menaruh buku catatan beserta pulpen dan kacamata baca di rak, aku pun berwudhu. Diikuti Teguh. Kami solat berjamaah. 


“Om, bawaannya sudah aku taruh di deket rak tempat om. Tadi Yoga yang nganter kesini,” kata pak Ramdan, begitu melihatku selesai solat.


“O iya, pak. Buka aja. Ada ayam ingkung, dua ekor. Untuk kita syukuran. Pilah mana yang bisa kita makan bareng-bareng dan mana yang barang pribadiku,” jawabku.


“Baiknya dicek dulu ayah. Siapa tahu ada yang hilang. Itu kan kiriman istri dan adek ayah,” Teguh menyela.


“Maksudmu, Yoga nilepnya. Gitu ya, Guh. Jangan biasain su’udzon,” tanggapku dengan cepat.


“Nggak nuduh sih, cuma siapa tahu. Namanya orang, rambut sama hitam, hatinya kita nggak tahu. Apalagi ini penjara, teman makan teman itu kan biasa,” lanjut Teguh.


“Justru mumpung kita disini, ayo sama-sama kita rubah perilaku yang nggak bener itu, Guh. Bukan terus-terusan curiga sama kawan. Tetep saling percaya aja. Kalau pun ada yang khianat, nanti juga dia tersingkir dengan sendirinya. Gitu aja kok repot,” kataku, dan bergegas mengambil pakaian ganti sebelum masuk ke kamar mandi untuk membersihkan badan.


Seusai mandi dan berganti pakaian, serta memasukkan baju kotor ke dalam kantong plastik khusus, aku duduk di ruang depan. Menikmati kopi pahit yang sudah disiapkan pak Ramdan. Sambil mendengarkan pak Waras dan kap Yasin yang sedang berdiskusi.


“Kap nggak perlu kecil hati. Karena keputusan yang tepat memang nggak selalu dalam situasi yang tepat. Yakin aja, masa sulit selalu mengarah pada sesuatu yang hebat. Yang penting, terus jaga ketakwaan. Jangan pernah bergeser walau satu inci sekalipun,” kata pak Waras.


“Jadi kunci utamanya jaga ketakwaan itulah ya, pak?” tanya kap Yasin dengan serius.


“Bener, kap. Itu kuncinya. Ada kalimat di dalam Alqur’an bunyinya begini: wa may yattaqillaha yaj’al lahu makhraja. Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Jadi, kita nggak perlu pusing sama urusan apapun di dunia ini, cukup bertakwa aja. Allah yang bakal siapin jalan keluarnya,” jawab pak Waras.


“Nurut pak Waras, aku harus relain aja ya?” tanya kap Yasin lagi.


“Iya, itu yang terbaik buat kap. Relain sesuatu itu merupakan kesadaran kalau ada hal yang nggak bisa dipaksain. Dan kita harus percaya, kalau kemenangan beriringan dengan kesabaran, jalan keluar beriringan dengan kesukaran, dan setelah kesulitan pasti datang kemudahan,” sambung pak Waras.


Aku dan pak Ramdan hanya diam. Menjadi pendengar dan memasukkan kalimat demi kalimat pak Waras dalam rekaman otak, karena kami sama-sama tidak memahami, masalah apa yang menjadi tema pembicaraan keduanya.


“Aku lagi ngadepin masalah keluarga. Makanya minta masukan sama pak Waras,” kata kap Yasin, memahami bila aku dan pak Ramdan tidak tahu asal-muasal pembicaraannya dengan pak Waras.


“Sudah pas itu, kap. Kita punya suhu yang mumpuni. Ilmu dunia dan akherat ada di pak Waras. Bersyukur kita punya keluarga seperti beliau ini,” ucapku, menanggapi kap Yasin. 


“Nggak gitulah, be. Aku kan juga masih belum banyak tahu. Kebetulan bisa kasih saran buat kap yang ngajak diskusi soal masalahnya. Buatku yang penting kita semua bisa ngebangun hubungan terbaik, bukan sekadar hubungan baik,” tutur pak Waras.


“Emang beda ya, hubungan terbaik dengan hubungan baik itu, pak?” tanya pak Ramdan.


“Pastinya ya bedalah, pak. Walau nggak jauh-jauh amat bedanya,” sahut pak Waras.


“Dimana bedanya?” tanya pak Ramdan lagi.


“Hubungan baik mengatakan: aku akan bersamamu dalam semua masalahmu. Sedangkan hubungan terbaik mengatakan: kamu tidak akan pernah memiliki masalah ketika aku bersamamu. Begitu perbedaannya, pak. Kalimat itu aku dapetin dari sebuah buku, tapi lupa apa judulnya,” urai pak Waras, sambil tersenyum.   


Suara adzan Isya mengalun kencang dari masjid di dalam kompleks rutan. Kami langsung bergerak. Melaksanakan solat berjamaah. Seusainya, 12 orang penghuni kamar 30 langsung  duduk melingkar di lantai atas. Untuk makan malam bersama.


“Alhamdulillah, kesampean juga ini. Makan dengan ayam ingkung,” kata kap Yasin, ketika pak Ramdan menyajikan makanan.


“Ini spesial sebagai wujud syukur om Mario khatam baca Qur’an untuk kesekian kalinya ya. Kami semua doain, om terus sehat, terus semangat, dan nggak akan lupain keluarga ini, walau menyatunya kita karena dipaksa oleh keadaan,” ujar Anton, dengan penuh semangat. 


“Aamiin. Inshaallah, om Mario nggak akan lupa sama kita semua. Ayo pak Waras, segera pimpin doa. Tapi, jangan panjang-panjang, sudah pada laper ini,” sahut kap Yasin, sambil tersenyum.


Dengan gaya khasnya, pak Waras yang kami panggil “suhu” itu, langsung memimpin doa. Kali ini tidak berpanjang-panjang. Simpel. Hanya: robbana atina fid dunya khasanah, wa fil akhirati khasanah waqina azaban nar.


Makan malam kali ini memang terasa beda. Semua penghuni kamar, menambah nasi. Bahkan, Anton sampai berteriak ke kamar sebelah, meminta nasi satu piring. Lauk ayam ingkung benar-benar menjadi penambah selera makan yang luar biasa. 


Sambil memandang wajah kawan-kawan setikar seketiduran, dari dalam hati aku tiada henti mengucap syukur kepada Ilahi Rabbi. Juga berterimakasih kepada istriku Laksmi, yang selalu memenuhi apa yang aku butuhkan. Dan teringatlah aku akan perkataan istriku di suatu waktu: Yang tahu bahwa cukup adalah cukup, akan selalu merasa cukup. (bersambung)

LIPSUS