Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 503)

INILAMPUNG
Kamis, 18 Mei 2023


Oleh, Dalem Tehang


SETELAH pak Ramdan membersihkan lantai tempat kami makan, aku naik ke bidang tempatku. Merebahkan kasur. Mengambil buku dan pulpen. Merangkai cerita pendek tentang kehidupan Rudy. Napi yang pernah satu sel denganku di kamar 20. 


Hampir dua jam aku menghabiskan waktu untuk menulis cerpen tersebut. Dan kemudian menyalin ke dalam telepon seluler, serta mengirimkannya kepada Dian. Sahabat yang memotivasiku untuk menuliskan cerita kehidupan para tahanan. Yang menurut Dian, sebuah tulisan ringan yang eksklusif. 


“Ini kopinya, om. Biar tambah semangat nulisnya,” kata pak Ramdan, sambil menaruhkan secangkir kopi pahit yang masih panas kedul-kedul, di sampingku.


“Terimakasih supportnya, pak,” jawabku, pendek.


“Ngelihat om semangat gini nulis cerpen, aku jadi inget sama seorang kawan. Dia seniman tulen. Serba bisa. Suatu saat, aku tanya sama dia, gimana bisa ekspresiin kemampuan sampai mendekati sempurna kayak gitu,” lanjut pak Ramdan.


“Apa jawab kawan seniman itu?” tanyaku, penasaran.


“Dia bilang ada kunci-kuncinya. Dia kasih aku klu-nya: jadilah sangat halus, bahkan sampai nggak berbentuk, jadilah misterius sampai nggak memiliki suara, dengan begitu kita bisa jadi pengarah kehidupan. Tapi jujur ini, apa yang dia bilang itu, sampai sekarang aku nggak bisa nerjemahinnya dengan gamblang,” ucap pak Ramdan, dan duduk di tepian lantai bidangku.


“Yang dibilang kawan pak Ramdan itu emang punya kedaleman makna tersendiri. Aku juga nggak paham maksudnya. Karena perlu nyeimbangin suara batiniyah dan lahiriyah buat mahaminya. Seperti juga waktu ada kawan bilang begini ke aku: bergeraklah cepat seperti angin, berbentuklah seperti kayu, menyeranglah seperti api, dan diamlah seperti gunung. Kalau nurutku, kata-kata bersayap kayak gini, cuma orang yang punya ketenangan lahir batin luar biasa aja, yang bisa nerjemahinnya. Orang kayak kita, susah buat bisa mahami,” tanggapku, panjang lebar.


“Bener itu, om. Kalau ngobrol sama seniman, nggak mudah emang buat kita mahaminya. Kenapa gitu ya,” lanjut pak Ramdan.


“Kalau nurut penilaianku, kawan-kawan seniman itu utamain kesederhanaan. Dalam konsep begitu, jiwa yang melahirkan kata. Kalau kita, pikiran yang lahirin kata. Itu bedanya,” kataku.


“Kenapa mereka lebih utamain kesederhanaan, om?” tanya pak Ramdan.


“Nurutku, karena kawan-kawan seniman paham bener, kesederhanaan mengundang penghormatan yang lebih abadi, sementara kemewahan mengundang penghormatan yang tinggi. Keabadian yang jadi tujuan hidup mereka. Makanya, karya-karya seni terus bertahan, nggak punah karena pergeseran jaman,” jelasku.


“Nurut om, kenapa karya-karya seni itu terus bertahan?” tanya pak Ramdan lagi.


“Kalau nurutku, karena kawan-kawan seniman itu punya keyakinan, hidup dalam khayalan dan kenyataan nggak ada bedanya, karena khayalan bisa dinyatakan dan kenyataan bisa dikhayalkan. Itu sebabnya, mereka selalu kelihatan nyaman dalam kondisi apapun. Buat mereka, kekayaan adalah hati yang merasa cukup. Ini yang mestinya bisa kita ikuti,” uraiku lagi.


“Iya, bener, om. Aku selama ini lagi belajar nata batin dan pikiran kayak kawanku yang seniman itu. Jujur, aku makin nyaman sekarang disini. Apalagi, ketemu kawan-kawan yang terus saling support buat kebaikan dan bisa nambah pengetahuan, sampai lupa susahnya hidup di penjara,” kata pak Ramdan, seraya menyunggingkan seulas senyuman.  


“Alhamdulillah. Yang pak Ramdan rasain, juga aku rasain kok. Bener kata orang, kegelapan itu peluang buat hidupin cahaya. Ada percikan api di batin kita, tinggal nyalain dan membiarkannya bersinar,” sahutku, juga sambil tersenyum. 


“Kalau Martin Luther King bilang: hanya dalam kegelapan, kita bisa melihat bintang-bintang. Kalau William Shakespeare bilang: bagian lebih baik dari keberanian adalah kebijaksanaan. Dan aku sepakat itu, karena kebijaksanaan sebenernya berakar pada kesabaran dan harapan. Kesabaran dalam kegelapan yang hidupin cahaya bintang-bintang, dan keberanian buat hidup lebih bijak ke depan,” lanjut pak Ramdan. Meramu pendapat dua tokok yang memang menjadi idolanya. 


Waktu terus berlalu, dan tidak mungkin kembali. Satu demi satu penghuni kamar merebahkan badan di bidangnya masing-masing. Tidak lama kemudian, terdengar suara mengorok, bersahutan. Sesekali diselingi suara gemeretak gigi yang beradu. Musik yang sangat khas di dalam sel pada malam hari.


Pak Ramdan beranjak dari tepian lantai bidang tempatku tidur. Bergeser beberapa meter, dan langsung naik ke tempatnya. Beristirahat. Aku masih bersemangat untuk menulis. Kembali tanganku yang memegang pulpen, bergerak di atas buku. Menulis kata demi kata. Kalimat bersambung kalimat. Dan setelah waktu melewati tengah malam, rampunglah satu cerpen lagi.


“Istirahat dulu, om. Nggak ada sesuatu pun urusan dunia yang perlu kita kejer sampai korbanin waktu istirahat,” tiba-tiba kap Yasin yang sejak tadi telah merebahkan badan di sebelahku, mengeluarkan ucapan.


“Iya, kap. Ini emang sudah selesai kok. Habis ini tidur juga,” jawabku, sambil memandang kap Yasin yang tetap memejamkan matanya. 


“Om harus pinter-pinter jaga kondisi dan ngatur waktu sekarang. Kan sudah ngantor di bagian umum. Dari pagi sampai sore pula. Nggak enaklah kalau di kantor bawaannya nguap-nguap melulu,” lanjut kap Yasin. Ada senyum tipis di bibirnya, meski kedua matanya tetap terpejam.


Tanpa menjawab, aku langsung mengemasi buku, pulpen, juga asbak dan rokok. Menaruhnya di atas rak. Dan setelah menutup badan dengan selimut, aku pun berdoa. Bismika Allahumma Ahya Wa Bismika Ammut.


Kenyenyakan tidur terusik ketika kakiku ditepuk-tepuk. Pak Waras membangunkan untuk solat Subuh berjamaah. Dengan masih terkantuk-kantuk, aku mengikuti prosesi persujudan kepada Ilahi Rabbi. Dan setelahnya, kembali ke tempat tidur. Sambil berpesan kepada pak Ramdan untuk membangunkan pada jam 08.00.


Sesuai pesanku, pak Ramdan yang menjadi OD kamar 30, membangunkan tepat pukul 08.00. Segera aku membersihkan badan. Memakai kaos berkerah dengan tulisan WBP dan bercelana panjang. Tentu tidak lupa, menyemprotkan minyak pewangi badan.


“Sudah mulai aktif ngantor ya, om. Kalau gitu, aku buatin mie aja buat sarapan ya,” kata pak Ramdan, saat menaruhkan secangkir kopi pahit di dekatku.


“Boleh juga, pak. Ambil aja di lokerku. Mie rebus ya, pak,” sahutku.


“Kenapa babe ini seneng bener mie rebus sih,” celetuk pak Waras.


“Sederhana aja alasannya kok, pak. Mie itu bakal ngegembung besar, kalau kena air panas. Gitu kan. Apalagi kalau airnya ngendep. Nah, itu juga yang terjadi di perut. Bikin tahan lama kenyangnya,” jawabku, dan tertawa ngakak.


“Semprul. Tak kirain opolah alasan suka mie rebus. Nggak tahunya buat ngakali perut sendiri,” ketus pak Waras, yang juga ikut tertawa ngakak. (bersambung)

LIPSUS