Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 504)

INILAMPUNG
Jumat, 19 Mei 2023


Oleh, Dalem Tehang


PAK Ramdan yang mendengar perbincangan kami, sambil menyiapkan mie rebus untukku, juga tidak bisa menahan tawanya. Pensiunan ASN yang pernah memegang jabatan penting di pemerintahan itu, bahkan sampai terpingkal-pingkal. 


“Ampun aku sama om Mario, kalau sudah keluarin celetukan. Ada-ada aja. Dulu aku punya sahabat yang gayanya kayak om inilah. Tapi, sejak aku masuk, hilang semua persahabatan kami,” ucap pak Ramdan, setelah menyelesaikan membuatkan aku sarapan mie rebus.


“Nggak usah dipikirin hal-hal yang nggak ngenakin hati, pak. Nggak ada gunanya. Nikmati aja situasi sekarang, kan pak Ramdan tetep punya sahabat disini,” kataku, sambil mulai menikmati mie rebus di dalam piring yang masih mengeluarkan asap karena baru selesai dimasak. 


“Bener, pak. Jangan pernah kecil hati karena ditinggalin orang yang kita anggep sahabat waktu di luar. Toh, disini juga dapet sahabat lagi. Dan persahabatan kita disini itu motivasi serta inspirasi, bukan cuma gengsi dan basa-basi,” pak Waras menimpali.


“Aku cuma sekadar cerita aja kok, pak. Nggak lebay apalagi melo. Karena buatku, sebenernya kita-kita yang lagi di penjara ini nggak kehilangan kawan, tapi kita belajar dan jadi tahu, siapa aja kawan kita yang sesungguhnya,” sahut pak Ramdan, tetap dengan menebar senyum sumringahnya.


Baru saja aku selesai sarapan, Yoga telah berdiri di balik jeruji besi. Didampingi tamping kunci. Setelah meminta izin kepada pak Waras dan pak Ramdan, aku pun keluar kamar. 


Berjalan beriringan dengan Yoga menuju kantor bagian umum. Aku menyampaikan kepada Yoga untuk memfoto kaos dan baju khusus tamping bagian umum. Agar istriku bisa segera membuatkan aku seragam.


“Cocok itu, bang. Mana hp abang, foto aja nanti pas kita sudah di ruangan,” kata Yoga.


“Nggak aku bawalah, Yoga,” sahutku, dengan cepat.


“Mestinya bawa aja, nggak apa-apa, bang. Justru abang bebas pakai hp kalau lagi tugas gini,” ujar Yoga, dengan wajah serius.


“Aku kan belum paham, Yoga. Kalau sudah tahu gini, mulai besok pasti bawa hp,” tegasku.


Sesampai di ruangan bagian umum, Yoga memberitahuku beberapa tugas yang menjadi pekerjaan tamping. Menyeleksi surat masuk, memasukkan data absensi seluruh pegawai setiap harinya, hingga pengajuan cuti maupun pindah.


“Yang nggak boleh salah itu cuma pas pembagian bingkisan bulanan itu aja, bang. Antara data pegawai dengan barang yang mau dikasih, harus sama. Pernah kejadian, aku selisih satu orang. Jadi masalah akhirnya,” jelas Yoga.


“Terus gimana?” tanyaku.


“Kena semprot habis aku sama Bos. Mana yang nggak terdata itu keponakan pejabat di kanwil pula. Orangnya juga ngocehin aku. Ya, aku terima semuanya untuk perbaikan ke depan, karena aku emang salah waktu ngedatanya,” urai Yoga, sambil tersenyum kecut.


Tidak beberapa lama kemudian, pak Manto datang. Setelah menaruhkan tas kerjanya, pria yang selalu penuh senyum ini memeriksa surat-surat yang ada di mejanya. Dengan cekatan ia memberi catatan. Disposisi. 


Yoga mengambil surat yang telah diperiksa kepala bagian umum tersebut, dan mengantar sesuai coretan yang ada pada bagian bawahnya.


“Ada agenda penting nggak hari ini, Yoga?” tanya pak Manto.


“Nggak ada, pak. Paling nanti sore ada briefing kepala rutan. Lanjutin saja dulu kegiatannya, pak,” jawab Yoga.


Pak Manto meminta Yoga memanggilkan para kepala seksi yang ada pada bagian umum. Beberapa saat kemudian, datang ke ruang kerjanya, tiga orang. Dua laki-laki, satu perempuan.


Pak Manto memperkenalkan aku kepada ketiganya. Dan setelah berbincang beberapa saat, ia memerintahkan ketiganya kembali ke ruangan masing-masing, melanjutkan pekerjaannya. 


Tidak lama kemudian, pak Manto berkemas. Sambil merapihkan kemejanya, ia menyalamiku dan Yoga, serta menyatakan akan keluar kantor sampai menjelang waktu briefing dengan kepala rutan.


Ketika pak Manto telah kami pastikan meninggalkan pelataran parkir rutan, yang kami pantau dari jendela di ruangan bagian umum, Yoga bercerita.


“Sudah dua bulan ini, setiap ada kesempatan dua tiga jam bisa ninggalin kantor, Bos pasti keluar, bang. Awalnya aku nggak tahu, apa kegiatan rutinnya itu. Sampai akhirnya aku tanya, karena penasaran,” ucap Yoga.


“Emang apa kegiatannya di luar?” tanyaku, penasaran.


“Rupanya, Bos diem-diem lagi belajar ngaji di rumah ustadz nggak jauh dari sini, bang. Kelihatan kok genteng rumahnya kalau kita lihat ke luar. Begitu aku tahu dia lakuin itu, netesin air mata aku, bang. Terharu, bangga, sekaligus malu. Aku sendiri kan belum pernah seumur-umur khatamin Alqur’an. Bos yang umurnya sudah di atas 50 tahun aja semangat bener belajar ngajinya, sampai selahin waktu di jam kerjanya. Lha, aku yang masih muda malah males bener,” tutur Yoga dengan suara tercekat.


“Masyaallah, jadi kalau Bos ngilang dari kantor, karena dia lagi belajar baca Alqur’an ya, Yoga?” tanyaku lagi. Meminta kepastian.


“Iya, bang. Aku tanya langsung ke Bos. Gara-garanya, pas keluar mobil di parkiran, aku ngelihat dia pakai kopiah, dan buru-buru dilepasnya waktu mau masuk sini. Jadi aku tanyalah, dari mana kok tadi pakai kopiah. Baru dia terus terang cerita. Dia wanti-wanti bener sama aku, jangan cerita sama orang lain. Karena dia malu, sudah setua ini baru belajar baca Alqur’an,” sambung Yoga.


“Luar biasa ya, Yoga. Kalau Allah sudah kasih hidayah, setua apapun kita bakal tergerak buat belajar nuju kebaikan. Wajar kalau kamu malu hati, masih muda tapi males baca Qur’an,” ucapku.


“Aku sebenernya kepengen belajar baca Alqur’an juga, bang. Cuma orang satu kamarku nggak ada yang bisa ngajarin juga. Kan nggak mungkin aku masuk majelis taklim, wong aku tamping disini,” tanggap Yoga.


“Iya juga ya. Waktumu habis disini dari pagi sampai sore. Balik-balik masuk kamar. Ada nggak kawan di kamar yang bisa baca Qur’an,” kataku lagi.


“Ada sih, bang. Cuma dia bilang, nggak bisa ngajarin, bisanya baca aja,” jawab Yoga.


“Emang nggak ada Alqur’an lain selain punya kawanmu itu di kamar?” tanyaku.


“Nggak ada, bang. Cuma satu itulah. Itu juga nggak ada bacaan Bahasa Indonesia-nya. Semuanya huruf Arab. Ya nggak ngertilah aku ngebacanya,” lanjut Yoga.


“Ya udah, nanti aku cariin Alqur’an yang ada Bahasa Indonesia-nya ya. Tapi, kamu bener-bener mau belajar ngajinya. Bukan sekadar malu karena Bos yang sudah tua aja masih mau belajar ngaji,” ucapku.


“Siap, bang. Apa yang dilakuin Bos itu jadi motivasi buatku. Semangatku belajar ngaji semata-mata karena Allah. Malu bener aku ini, sudah dikasih hidup sama Allah tapi nggak ngerti isi kitab-Nya,” jawab Yoga, dengan nada serius.     


Melihat semangat Yoga yang membara untuk belajar membaca Alqur’an, aku berjanji di dalam hati untuk secepatnya mencarikan jalan keluarnya. Dan buatku, jika ingin melakukan perubahan, jangan tunduk pada kenyataan. Asalkan yakin di jalan yang benar, maka lanjutkan. (bersambung)

LIPSUS