Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 505)

INILAMPUNG
Sabtu, 20 Mei 2023


Oleh, Dalem Tehang


PRAKTIS, kami hanya berbincang kesana-sini saja selama di ruangan bagian umum. Sesekali keluar, duduk di sofa besar. Sambil menikmati minuman hangat dan beberapa potong kue.


“Jadi, hari-harimu gini inilah ya, Yoga?” tanyaku, yang merasa membuang waktu dengan sia-sia.


“Bisa dibilang gitulah, bang. Kalau nggak ada surat yang harus dianter ke bagian lain, atau tugas-tugas lain dari Bos, ya aku disini aja. Paling main games di komputer, atau ngobrol sama pegawai dan sipir P-2-O. Kalau capek, leyeh-leyeh di sofa. Sering aku ketiduran. Apalagi, pegawai di bagian umum ini nggak reseh. Jadi nyaman, bang. Yang penting bagi mereka, aku bisa nempatin diri aja,” jawab Yoga, panjang lebar.


“Asyik dan santai sih sebenernya disini, Yoga. Tapi aku ngerasa kayak buang-buang waktu aja kalau nggak ada yang dikerjain. Mulai besok, aku mau bawa buku ajalah ya, bisa sambil baca-baca atau nulis,” kataku.


“Emang jenuh buat orang yang biasa bergerak, bang. Bagus kalau abang mau bawa buku, kiatin suasana yang emang nggak banyak kegiatan ini. Paling minggu ketiga, baru agak sibuk. Merekap data absensi pegawai secara bulanan, juga siapin bingkisan itu,” lanjut Yoga.   


Waktu terus bergulir, suara adzan Dhuhur menggema dari masjid. Aku mengajak Yoga solat berjamaah. Semula, pria berbadan atletis dengan wajah ganteng ini, tampak ragu-ragu.


“Ayolah, mumpung dikasih sehat dan kesempatan, kita solat berjamaah. Nanti kalau kita males solat, bakal cepet disolatin lo,” ucapku, sambil tersenyum.


“Maksudnya, bakal cepet disolatin itu karena mati ya, bang?” tanya Yoga, dengan wajah serius.


“Ya iyalah, Yoga. Yang disolatin itu kan orang mati. Kalau yang masih bernafas, ya dia yang solat,” sahutku, tertawa.


“Abang mah doain aku cepet mati lo. Jangan gitu, bang. Aku ini masih muda, masih banyak kepengenku di dunia ini,” kata Yoga, yang kemudian bergerak dari sofa dan mengajakku untuk segera ke masjid. 


Seusai mengikuti solat berjamaah di masjid, aku kembali ke ruangan bagian umum bersama Yoga. Ketika memasuki ruang kepala bagian, tampak dua nasi kotak berada di meja komputer. Yoga langsung mengajakku makan siang.


“Ini enaknya disini, bang. Begitu adzan Dhuhur selesai, dikasih nasi kotak. Nanti biasanya jam 15-an, ada lagi. Kue kotak. Isinya enak-enak, walau cuma tiga potong,” kata Yoga, saat kami mulai menikmati makan siang berlauk ayam goreng tersebut.


“Pantes kamu gemuk, Yoga. Makan terjamin,” ucapku, seraya tersenyum.


“Alhamdulillah, bang. Selama ini aku cuma mikirin buat makan malem aja. Aku pesen dari warung depan, samaan dengan sipir di P-2-O. Sudah langganan. Seminggu bayar Rp 100.000. Ramesan gitu. Nanti pas mau balik ke kamar, mereka anter kesini. Jadi, aku masuk kamar sudah bawa makanan buat malem,” urai Yoga.


“Sarapan kamu gimana?” tanyaku, menyela.


“Sejak kecil, aku nggak biasa sarapan. Paling minum kopi aja. Kan sebelum jam 9 juga sudah disini. Dan ada aja pegawai yang bawa makanan kecil dari rumah, pasti berbagi juga,” jawab Yoga, tersenyum lepas.


Yoga mengaktifkan komputer yang ada di meja kerjanya. Ia menunjukkan beberapa games kesukaannya. Ia menawariku ingin bermain games yang mana.


“Nggak ngerti aku permainan yang baru ini, Yoga. Kalau dulu, aku suka games bounce. Jadul emang, tapi nurutku, asyik maininnya,” kataku. Terusterang. 


“Aduh, abang. Bounce itu games awal tahun 2000-an. Sekarang sudah tahun berapa. Nggak up-date amat ya sama perkembangan dunia games. Sudah sangat kadaluarsa permainan yang abang suka itu. Jangan-jangan sudah dihapus pula dari data games di dunia ini,” sahut Yoga, sambil tertawa ngakak.


“Ya cuma bounce itu emang games yang aku suka, Yoga. Nggak pernah pengen mainin yang lain. Sampai pernah beberapa kali komputer maupun laptop-ku diservis, pesennya cuma satu, games bounce-nya jangan sampai hilang,” ujarku, juga sambil tertawa. 


“Nggak nyangka aja, ternyata abang emang orang tempo dulu banget ya. Baru ketahuan sekarang. Kalau lihat gaya, tampilan, dan pembawaan sih, bisa dibilang abang termasuk orang yang ngikuti trend. Nggak kalah sama kaum milenial,” lanjut Yoga, masih dengan tertawa.


Walau mentertawakan, namun Yoga tetap berusaha mencarikan games kesukaanku. Bounce. Hampir satu jam pria muda yang tersangkut kasus pembuatan senpi dengan profesi sehari-hari sebagai tenaga pendidik ini, memainkan dan mengotak-atik komputer di mejanya untuk menemukan permainan jadul tersebut. Sampai kemudian, ia menyerah.


“Nggak bisa aku temuin games kesukaan abang itu. Nanti malem, aku coba cari lagi pakai laptop di kamar. Sekarang, aku mau main dulu, abang ambil aja majalah atau buku-buku cerita di sudut itu, biar nggak jenuh,” kata Yoga, seraya mengangkat kedua tangannya. Pertanda menyerah.


Setelah mengambil sebuah majalah internal kemenkumham, aku duduk di sofa ruang depan. Membacanya dengan asyik. Sementara Yoga, menikmati permainan games di komputernya.


Pak Manto kembali ke kantor. Wajahnya teduh, dan tetap ada senyum di bibirnya. Ia menanyakan, apakah kami sudah makan siang. Yoga yang menjelaskan. Seusai memeriksa kembali beberapa surat dan berkas yang ada di meja kerjanya, pak Manto berkeliling ke ruangan staf. Sayup-sayup terdengar ia tengah berkoordinasi.


Sekembali ke ruang kerjanya, pak Manto mengambil buku notes dan bersiap-siap untuk turun ke lantai bawah. Mengikuti briefing kepala rutan. Ia mengingatkanku untuk selalu solat berjamaah di masjid saat waktu Dhuhur dan Ashar. 


“Jangan seperti Yoga, bang. Dia males bener solat jamaah. Padahal kesempatannya ada. Nanti pas kepengen, kesempatan sudah nggak ada, nyesek rasanya di hati,” ujar pak Manto.


“Tadi aku solat di mesjid kok, pak. Sama bang Mario,” tanggap Yoga, dengan cepat.


“Oh ya. Alhamdulillah. Moga-moga aja nanti ada hujan petir karena perubahan positifmu ini, Yoga,” sahut pak Manto, dengan tersenyum lepas.


“Kenapa harus ada hujan petir ya, pak?” tanya Yoga. Membelalakkan matanya. 


“Ya nggak haruslah, Yoga. Yang nentuin semuanya kan Yang Di Langit. Kata orang, kalau mendadak ada hujan petir, berarti ada orang yang barusan taubat dan berniat serius buat perbaiki dirinya. Bener nggaknya omongan itu, aku nggak tahu,” jawab pak Manto, juga masih dengan tersenyum. (bersambung)

LIPSUS