Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 506)

INILAMPUNG
Minggu, 21 Mei 2023


Oleh, Dalem Tehang


NAH, ngomong-ngomong soal petir, saudaraku mati kesamber petir lo, pak. Waktu itu, dia lagi di sawah. Gimana biar kita terhindar dari amukan petir,” lanjut Yoga.


“Berdzikir aja, Yoga. Baca kalimat-kalimat yang mengagungkan Tuhan. Apalagi kalau pas di sawah atau tempat terbuka. Inshaallah, petir nggak bakal nyamber,” kata pak Manto, dengan wajah serius.


“Beneran ini, pak. Cukup dengan berdzikir?” tanya Yoga, mengernyitkan dahinya.


“Benerlah, Yoga. Ada di buku Shifatus Shafwah. Abu Ja’far yang nyampeinnya begitu. Beliau berkata: Halilintar atau petir bisa menyambar seorang mukmin dan selainnya. Namun, ia tidak dapat menyambar seseorang yang sedang berdzikir,” jelas pak Manto.


Yoga mengangguk-anggukkan kepalanya. Aku pun melakukan hal yang sama. Ada bahagia di jiwaku. Percikan pengetahuan berdasar nafas keagamaan, terus aku dapatkan.


“Kalau di kampung-kampung, petani pas lagi di sawah dan dateng hujan petir, mereka nyari daun pisang buat nutup kepala waktu jalan nuju gubukan. Faktanya, emang jarang yang kesamber petir, pak. Katanya, cara itu ajaran dari ulama besar Ki Ageng Selo. Melegenda itu di kampungku,” kata Yoga, setelah berdiam beberapa saat.


“Saya juga tahu cerita atau legenda itu, Yoga. Kisahnya, suatu saat Ki Ageng Selo lagi macul di sawah sama beberapa orang. Hujan deres turun dari langit. Dibarengi petir yang nggak berhenti-berhenti. Waktu itu, salah satu petir mau nyamber Ki Ageng Selo. Dengan kesaktiannya, dia pegang petir itu dan diiket di pohon pisang. Dengan perjanjian, siapapun orang yang nutup kepalanya dengan daun pisang waktu ada petir, jangan disamber. Karena orang itu keturunan Ki Ageng Selo. Gitulah kira-kira kisahnya. Sejak itu, kalau petani lagi di sawah dan hujan petir, banyak yang jadiin daun pisang sebagai payungnya,” urai pak Manto, panjang lebar.  


“Legenda itu dikenal sama semua petani lo, sampai sekarang, pak. Tapi, apa emang bener sih daun pisang itu penangkal petir,” tanggap Yoga, dengan nada penasaran.


“Nurut hasil penelitian ilmiah yang pernah saya baca, ternyata daun pisang memang nggak bisa nyalurin arus listrik yang dibawa oleh petir, Yoga. Jadi, kalau kita di tempat terbuka dan hujan diiringi petir, terus payungi kepala sama daun pisang, nggak akan kesamber. Tapi, kalau di kantong ada alat elektronik, misalnya hp, masuklah arus listriknya. Nggak usah heran kalau denger kabar, petani di sawah kesamber petir, karena dia kantongi hp,” jelas pak Manto.  


“Jadi, antara legenda dengan penelitian ilmiah, nyambung ya, pak,” lanjut Yoga.


“Kenyataannya gitu. Makanya, kita jangan gampang-gampang nyepelein sebuah legenda atau ajaran leluhur. Karena mereka nggak asal aja kasih ajaran,” ujar pak Manto, dan beranjak meninggalkan kami untuk mengikuti briefing kepala rutan kepada jajaran pejabatnya. 


Ketika suara adzan Ashar menggema dengan kencangnya di kawasan kompleks rutan, Yoga langsung mengajakku untuk segera ke masjid. Solat berjamaah.


“Kita nggak usah ikut dengerin tausiyah ya, bang. Kan lagi kerja,” bisik Yoga, selepas kami solat berjamaah.


Aku hanya menganggukkan kepala, dan mengikuti langkah Yoga untuk kembali ke ruangan bagian umum. Di lantai dua bangunan paling depan dari kompleks rumah tahanan negara tersebut. 


Melihat Yoga kembali mengaktifkan komputer untuk melanjutkan permainan games, aku meneruskan membaca majalah. Hingga beberapa pegawai keluar ruang kerjanya masing-masing untuk pulang ke rumah. 


Ketika senja mulai meredup, pak Manto berjalan dengan cepat. Masuk ke ruangan kerjanya. Setelah mengambil tas, ia pun berpamitan.


“Memang sudah selesai rapatnya, pak?” tanyaku.


“Sudah, bang. Barusan aja. Maaf, saya buru-buru. Janji mau anter istri ke dokter sore ini. Besok kita ketemu lagi ya,” jawab pak Manto, yang bergegas menuruni tangga untuk sampai ke ruang P-2-O dan keluar kompleks rutan.


Yoga merapihkan beberapa berkas yang ada di meja pak Manto. Menyusunnya dengan rapih. Dan setelahnya, ia mengajakku untuk kembali ke kamar sel.


“Nggak dibersihin pakai lap dulu meja Bos ini, Yoga. Juga meja kamu,” ucapku.


“Ada petugasnya buat bersih-bersih gini, bang. Kita nggak ngurusi soal begituan,” sahut Yoga, dan langsung berjalan.


Aku pun mengikuti langkah Yoga. Dan beberapa menit kemudian telah kembali ke kamar. 


“Enjoy bener kayaknya om jadi tamping di bagian umum ya. Seharian nggak di kamar,” kata kap Yasin, saat melihatku masuk kamar.


“Alhamdulillah, kap. Enak emang tempatnya. Buka jendela, kelihatan perkampungan penduduk. Kerjaannya juga nggak banyak dan nggak ribet,” balasku, dan bersiap untuk segera membersihkan badan.


“Yang penting, babe tetep bisa ikut solat berjamaah dhuhur dan ashar. Aku seneng lihat babe tadi sama Yoga di mesjid,” kata pak Waras.


“Iya, pak. Alhamdulillah. Banyak kesempatan buat tetep bisa ikut jamaahan,” sahutku.


Seusai mandi dan berganti pakaian, aku mengaktifkan telepon seluler. Menghubungi istriku melalui WhatsApp. Ternyata, ia masih di jalan. Menuju pulang dari kantornya. Aku menceritakan kegiatan hari ini sebagai tamping bagian umum.   


“Alhamdulillah. Tetep disyukuri dan dinikmati ya, ayah. Semua sudah diatur sama Allah. Kita tinggal jalaninya aja. Tetep jaga kesehatan dan tingkatin terus ibadah serta doanya,” tulis istriku, Laksmi.


Aku juga mengirimkan chat kepada anakku: Bulan dan Halilintar. Pun adikku Laksa. Seusainya, kembali aku non-aktifkan telepon dan menyimpannya.


Sambil menunggu datangnya adzan Maghrib, aku bergabung dengan kawan-kawan yang tengah berbincang santai di ruang depan. Secangkir kopi pahit langsung disiapkan oleh pak Ramdan untukku.


“Teguh ini lebay bener, om. Karena nggak dianggep kakaknya waktu telepon, jadi uring-uringan bawaannya seharian ini,” kata Anton, ketika melihatku telah duduk bergabung.


“Kita emang harus belajar buat terbiasa untuk nggak dianggep, Guh. Nggak usah kecil hati. Sudah alurnya, orang yang lagi ditahan atau berkasus, nggak akan dipandang sebelah mata pun sama orang lain. Itu faktanya, Guh. Bukan legenda,” tanggapku, sambil memandang Teguh yang duduk dengan menundukkan wajah di sudut ruangan. (bersambung)

LIPSUS