Cari Berita

Breaking News

Bisnis yang Merdeka

INILAMPUNG
Rabu, 18 Agustus 2021

Oleh Endri Kalianda

DI TENGAH badai pandemi yang entah sampai kapan bakal berakhir, banyak di antara kita yang benar-benar bangkrut. Berada di titik nadir. Sebatas survival dengan belenggu kefakiran.  

Namun yang pasti, hiruk pikuk pesta tujuhbelasan, meski muram, masih ada secercah harapan tentang, hidup mesti terus berlanjut.

Itulah kenapa, ada sebuah anekdot jika “era baru” itu artinya pendakian. Mendaki, tidak semua orang bisa melakukannya.

Fenomena pilu tentang himpitan melarat akibat pandemi Covid-19 yang meluluhlantakkan sendi-sendi perekonomian banyak warga, bisa dengan mudah menyentuh nalar kemanusiaan kita. Silahkan cek akun-akun medsos, terutama IG yang bertajuk testimoni dari teman bantu teman itu. Hampir merata, suram. 

Akan tetapi, di tengah suasana kepailitan hidup, pasti ada celah untuk memaksimalkan peluang. Dan atau keuntungan.

Di bawah ini, dua bisnis yang saya temukan tetap merdeka. Bahkan, justru berlimpah keuntungan. 

Saya merasa kagum dan tentu, banyak bertanya. Bagaimana mungkin, di tengah beragam kegetiran hidup itu, ada bisnis yang tidak mengalami zaman kegelapan? Mungkin Anda banyak menemukan? Tapi, hanya dua ini, yang saya lihat dengan mata kepala sendiri sambil angkat topi. Patas saja, perputaran uang seolah mampat. Ternyata ada yang menyumbat, membawa galon penadah aliran air langsung dari sumber utamanya.

Pertama, bisnis yang merdeka itu tekait alkes. Dan yang kedua, bisnis sembako.

Dua hal fundamental itu, memang pada dunia yang sedang baik tanpa wabah pun, pasti merasakan merdeka, secara bisnis maupun finansial. Meski jika sekarang ada yang menekuni bisnis alat kesehatan (alkes) atau bisnis sembako bangkrut. Layak baca sistematika usaha yang harus dilakukan, agar ikut merasakan banjir uang. 

Bisnis Alkes
Kita ketahui, alat kesehatan yang sangat menguntungkan di masa pandemi ini bukan lazimnya alkes dengan investasi yang besar dan terkluster hanya untuk pasien kaya. Melainkan, justru yang membidik pasar kebodohan massal. Yaitu, khusus untuk alat tes Covid-19. Baik yang rapid test, swab, dan PCR itu.

Akan tetapi terbatas pada kemampuan personal pemilik lab. Harus seperti pemilik klinik yang berada di Kecamatan Sukarame itu. Jangan seperti pemilik lab kesehatan di Jalan Imam Bonjol yang tutup dan ganti jadi warung pecel. Salah satu caranya, bekerja sama dengan dinas instansi pemerintah yang bakal banyak menggelar pertemuan. Lalu mau sepakat dengan oknum pejabat di dinas. Misal, di hasil swab antigen yang pasti negatif itu kuitansi beaya tertulis Rp.250 ribu, cukup menerima Rp.150 ribu. Peserta yang dites, sekitar  300 orang. Dan itu acara rutin sebulan sekali sejak awal pandemi? Itu hanya ada di satu momen kerja sama dengan dinas pendidikan kota, bayangkan jika banyak kerja sama dengan lembaga yang sibuk untuk menghabiskan anggaran. Sebab, capaian kinerja itu dinilai dari serapan anggaran di akhir tahun.

Wajar bukan, jika klinik tak terkenal dan entah milik siapa itu, belakangan ini sering pakai postingan bersponsor? Atau mau menambahkan klinik di Panjang? Yang ikut bersaing, di kuitansi Rp.250 ribu, diterima Rp.125 ribu?

Bisnis Sembako
Kedua, bisnis yang saat ini merasakan kemerdekaan sejati adalah jual sembako. Tentu saja dengan catatan. Yaitu, khusus sembako bantuan sosial.

Pada momentum pasca lebaran Idulfitri lalu, sambil duduk di warung, saya bercanda dengan beberapa teman. Sebab, ada fenomena unik. Umumnya orang yang belanja sembako, pakai uang baru. Itu pertanda, orang-orang tua sudah merampas jatah sangu lebaran anak-anak guna memenuhi kebutuhan dapur. 

Perlu diketahui, warung sembako itu bukan bisnis sembako yang saya maksud. Kalau empunya warung, ikut bersama kami untuk memproduksi bahan lelucon. Bagaimana caranya menertawakan penderitaan. Misal, sebelum duduk menyeruput kopi langsung kami cecar pertanyaan. Kira-kira motor, mobil, rumah, apa bea SPP yang nunggak? 

Bisnis sembako yang saya maksud adalah pemasok di E-Warong itu. Tentu seperti pola pemilik klinik tes Covid-19. Harus bekerja sama dengan oknum pejabat di dinas instansi yang tahu kapan uang negara itu turun. 

Kemudian menyiasati, menggaet banyak pihak yang bakal menjadi mitra bagi-bagi uang. 

Bayangkan, di tengah gelombang ironi, pebisnis sembako mampu meraup keuntungan berlimpah. Lalu merasa perlu semakin berkuasa, menjadikan anaknya wakil rakyat. Belum cukup, lalu menjadi ketua partai politik. Sepetinya bakal kurang juga, maka sekarang jelang pensiun, mulai bersiap masuk ke ranah politik. Baik itu sebagai calon kepala daerah maupun calon legislatif. 

Tentu saja, setelah berkuasa, bisa mengumpulkan uang yang lebih banyak lagi.  

Apakah pandemi ini mencepit Anda dengan kemelaratan? Belajarlah menekuni dua bisnis itu. 

Pasti sukses. 

Mudah. 

Semua hanya bersyarat, jadilah birokrat sampai punya jabatan strategis, tapi kemudian, berprilakulah seperti mafia. (*)

LIPSUS