Cari Berita

Breaking News

Lakon Kepedihan dan Wiraga Protes Conie Sema

Jumat, 09 September 2022


Oleh Endri Y Kalianda


PERSIAPAN dan pentas teater Potlot berjudul Majhi adalah perjumpaan intensif saya dengan Conie Sema. 

Awalnya, saya hanya mendengar bahwa beliau wartawan RCTI. 

Bang Conie, demikian kami memanggilnya, setelah beberapa malam terlibat perbincangan itu, tersirat bahwa beliau merupakan tipikal pemikir yang jurnalis, sastrawan yang berani berpihak, sekaligus seniman yang kritis. 

Hampir tiap malam, di Lamban Sastra Isbedy Stiawan ZS, Bang Conie dengan kru Teater Potlot, terus berlatih lakon Majhi yang bakal dipentaskan pada 4 Desember 2016 malam.

Melalui teater, segala nalar estetisnya berusaha diwujudkan. Majhi adalah manifestasi gagasan itu. 

Kita ketahui, sebelum Majhi dipentaskan, daerah kami dihebohkan kisah pemulung yang membawa pulang istrinya yang sakit dengan gerobak karena ambulance RSUD, tak mau melayani. 

Pasca heboh diberitakan media, RS memanggil dan merawatnya dengan layanan prima, layaknya pasien VVIP. Banyak politikus kemudian berkunjung. Menjenguk manusia gerobak itu. Tidak lama kemudian, pasien miskin itu bukan sembuh, melainkan meninggal. Tapi Majhi tidak ada kaitan dengannya. Menurut beliau. "Saya lebih terinspirasi dengan kepedihan Majhi, orang India yang menggendong mayat istrinya karena tak punya gerobak, apalagi kendaraan." 

Protes disuarakan bukan dengan bersuara lantang di mimbar-mimbar kebebasan demokrasi. Juga tidak ada keberpihakan media. Melainkan dengan latar hitam, pecahayaan yang muram, dan wiraga yang cukup elok, meliuk-liuk apik. Beragam kehidupan yang aneh dan ironi itulah inspirasi sekaligus kegelisahan seorang Conie Sema dalam ekspresi seni. Majhi adalah naskah sastra karyanya yang dipanggungkan oleh Robi Akbar dan Dian Anggraini. Ditampilkan di Lamban Sastra Isbedy Stiawan ZS, yang dibuka dengan sebuah puisi dari Paus Sastra Lampung. 

Ternyata, sudah 7 tahun lalu. 

Majhi yang berkisah tentang suami istri yang untuk berobat, pertama yang ditanya oleh rumah sakit adalah; "Apa agamamu? Dari mana? Punya uang berapa?" Di sinilah Majhi pun memperjuangkan hak hidupnya, dengan hanya menggendong istrinya sampai menjadi mayat. 

Beragam adegan wiraga Robi dan Dian, monolog soal masyarakat marjinal itu, disublim dalam perspektif khas perlawanan rakyat kecil. Yakni, menerima dengan tetap tabah menjalani hidup untuk usahanya berobat. 

Tentang teater, Bang Conie selalu bertanya dalam setiap karyanya. "Bagaimana teater bisa menggunakan kesadaran dan akal pikirannya, menajamkan daya kritis, merespons ketimpangan, bukan lagi sekadar asik bermain di wilayah batin manusia, trance, dan histeria."

Pasca melakonkan Majhi, teater Potlot terus menelurkan beragam pentas. Antara lain, Rawa Gambut, KuTuk, dan Talangtuwo. Karya Conie berjudul Rawa Gambut bahkan mendapat anugerah Rawayan Award 2017 dari DKJ.

Lampung dan Palembang adalah rumah bagi kesenian wiraga, naskah teater, sekaligus arsitektur Bang Conie. Namun demikian, khidmad bagi Teater Potlot yang sudah didedikasikan untuk ilmu pengetahuan dan berkesenian, menyuarakan semacam dengung kebenaran serta sikap berlawan atas aneka ketidakadilan yang mengancam kehidupan, semoga menjadi bagian dari amal jariah Bang Conie. Sebagai sutradara dan penulis naskah yang sastrawi, semoga bahagia di alam sana. Bertemu dengan yang Maha Sutradara. 

Surga dan damailah, Bang Conie Sema. Al Fatehah.(*)

LIPSUS