Cari Berita

Breaking News

Airlangga - Anies : Aktivis Mahasiswa Kampus UGM Era 80-90 an. (Bagian 1 )

INILAMPUNG
Kamis, 13 Oktober 2022

oleh
Indra Jaya Piliang



Airlangga Hartarto dan Anies Baswedan /Net


Apakah seni untuk seni?

Begitu perdebatan semester pertama masuk mata kuliah – mata kuliah dasar. Mau Dasar-Dasar Ilmu Politik, Dasar-Dasar Ilmu Sosial, Dasar-Dasar Ilmu Budaya, atau Dasar-Dasar Ilmu Teater Sastra.

Apakah politik itu seni? Atau sekadar kalkulasi yang jarang dimasuki ilmuwan-ilmuwan yang lulus Dasar-Dasar Ilmu Kalkulus atau Dasar-Dasar Ilmu Akutansi?

Rama Pratama seingat saya yang anak Ilmu Akutansi yang masuk politik, bahkan sejak politik masih berwujud “politik kampus”. Bisa jadi, berhubung Rama hidup di Jakarta, tidak seperti saya yang berteman dengan lumpur, lintah, dan beruk. Hanya dua jenis anak-anak Minang yang tak lahir di ranah, yakni keturunan dari kelompok saudagar atau kelompok diplomat. Kehebatan pada masing-masing kelompok, tinggal dibungkus dengan bahasa kelompok intelektual. Dirgantoro Tarmizi, anak dari Tarmizi Taher, asli urang Pariaman, bagi saya juga masuk satu dari dua jenis itu.

Tak percaya?

Cek saja seluruh nama dalam catatan. Tan Malaka, Agus Salim, Mohamad Hatta, hingga Muhammad Yamin dan Muhammad Natsir, lahir di kampung, remaja, dan sekolah menengah, terus kuliah, gadang dan dewasa di rantau. Mereka lebih basah, berlumpur, bahkan codet di kening terkena pisau lawan main silat seperti Buya HAMKA, bergelimang miang pemikiran yang terkadang penuh mitos, dibanding dengan nama-nama lain yang lahir di rantau, lebih alkemis, profesional, sekaligus tak holistis.

Airlangga Hartarto, lahir di kota Pelabuhan Surabaya, pada 1 Oktober 1962. Airlangga bersekolah dari dasar sampai menengah atas di Jakarta, tepatnya Kawasan Menteng. Di Sekolah Menengah Atas (SMA) Kanisius, Airlangga sempat menjadi Wakil Ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS). SMA Kanisius, bersama sejumlah sekolah menengah lain, “selamat” dari zaman nasionalisasi yang anti Belanda dan orang asing pada tahun 1950an akhir. Pater J Drost dikenal para pembaca Majalah PRISMA sebagai ahli pedagogi hebat yang terus mengajar di Kanisius.

Anies Baswedan, lahir di Kawasan perkebunan, Kuningan, pada 7 Mei 1969. Anies bersekolah di Sleman dan Yogyakarta. Seperti Airlangga, Anies terpilih sebagai Wakil Ketua OSIS SMA 2 Yogyakarta.

Airlangga sepenuhnya anak kota. Ia bukan bersaing dengan anak lain, tetapi kakaknya sendiri, almarhum Gunadarma. Berhubung Gunadarma sudah menjadi aktivis mahasiswa Institut Teknologi Bandung, Airlangga memilih kuliah di Universitas Gajah Mada (UGM), kampus Wong Ndeso. Jurusan langka ia ambil, Teknik Mesin. Selain terpilih sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Teknis Mesin, Airlangga terpilih sebagai Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Teknik UGM yang pertama dari Teknik Mesin.

Kelompok Studi Mahasiswa yang subur dalam era 1980an itu, menjamur di Yogyakarta. Sebut saja, Kelompok Studi Dasakung yang menggemparkan publik dengan studi tentang mayoritas pelajar putri Yogyakarta yang tak perawan lagi. Istilah ‘kumpul kebo’, berasal dari kota yang terkenal dengan Jalan Malioboro ini. Kelompok Studi Teknosofi pimpinan Taufik Rahzen juga soko guru bagi para aktivis mahasiswa yang ingin jadi think tank. Para penyair dan seniman, berkecambah di Yogyakarta.

Tanah tempat ari-ari Anies dikubur, Kuningan, justru area perkebunan yang – salah satunya – berhubungan dengan perkebunan yang dimiliki keluarga kakek Airlangga, Didi Sukardi. Bermata air penuh kandungan belerang, Kuningan dinaungi oleh perlawanan pendekar hebat, pahlawan rakyat, Jaka Sembung. Hawa panas Cirebon membawa tuan-tuan tanah Belanda, beserta keluarga, bertempat tinggal di Kawasan ini. Istilah “Nyi” atau “Nyai” juga berasal dari sini.

Didi Sukardi, walau berkebun di Kawasan Sukabumi, area pembuangan kaum republiken yang ditawan Belanda, seperti G.S.S.J Ratulangie, punya semangat yang sama dengan Jaka Sembung. Ratulangie menulis buku hebat, Indonesie in Pacific, di Sukabumi. Dalam alur itu, Didi Sukardi bersama dengan kakek Anies, yakni Abdurrahman Baswedan, adalah sama-sama Perintis Kemerdekaan, sama-sama jurnalis, sama-sama republiken, alias sama-sama berdarah pejuang. Hikayat Nyi Roro Kidul di Pelabuhan Ratu, Sukabumi, memagari kekayaan lautan pantai selatan Jawa.

Jalan Raya Anyer-Panarukan yang dibangun Daendels membelah Jawa menjadi utara yang keras dan bergegas kontra selatan yang mistis dan erotis. Pulau kecil yang dihuni 65 persen penduduk Indonesia ini, seakan diceraikan untuk kedua kalinya oleh Daendels, setelah fitnah padang rumput sabana Bubat Mahapatih Gajahmada yang ‘jatuh hati’ jelang pensiun kepada tunangan Hayam Wuruk bernama Dyah Pitaloka, lima abad sebelumnya. Jawa versus Sunda ala Padang Bubat dilengkapi Utara versus Selatan ala Daendels.

Anies memilih tetap kuliah di Yogyakarta. Sempat mendapatkan program American Field Service (AFS) di Minwaukee, Wisconsin, Amerika Serikat, membuat masa SMAnya ditempuh selama empat tahun. Sempat terpilih sebagai Ketua Umum OSIS se-Indonesia, Anies punya banyak kawan di seluruh Indonesia secara horizontal, serta diundang ke Jakarta, secara vertic\kal. Kemampuan di bidang jurnalistik membuat Anies hadir sebagai pewawancara tokoh-tokoh nasional dalam Program Tanah Merdeka TVRI Cabang Yogyakarta.

Anies masuk Fakultas Ekonomi UGM. Dalam peta bumi pemikir ekonomi Indonesia, terdapat apa yang dikenal sebagai Widjojonomics (UI) yang lebih pro ekonomi pasar liberal dan Mubyartonomics (UGM) yang kadung dilabel pro ekonomi pasar sosial. Organisasi ekstra kampus, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ikut dimasuki. Kehandalan sebagai organisatoris membuat Anies terpilih sebagai Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Ekonomi UGM.


Dekat petani (Net)


Didi Soekardi adalah pemilik koran Oetoesan Indonesia dalam zaman pra kemerdekaan. Para penulis republiken, terutama dari ranah Minang, secara leluasa menyampaikan pemikiran mereka. Plus, tentu saja, honorarium. Sejumlah anak Sukardi, selain jadi tentara, pengusaha, pun tentu jurnalis hebat dan bermartabat.

Berhubungan, atau tidak, Airlangga seperti dicambuk, lantas terjun dalam pers kampus. Akibat Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK), pemikiran dan pergerakan mahasiswa dibatasi, termasuk pers mahasiswa yang terkenal sebagai ujung tombak perlawanan mahasiswa Angkatan 1966, Angkatan 1974 sampai Angkatan 1978. Airlangga memilih aktif dalam pers yang berbasis keilmuan, baik tingkat jurusan, atau fakultas. Sebagai Ketua Senat Mahasiswa FT UGM, Airlangga menjadi penanggungjawab dari pertemuan para aktivis pers mahasiswa Fakultas Teknik se-Indonesia di Bulaksumur.  Tuan rumah, Majalah Clapeyzon, dari Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik UGM.

Dalam proses itu, lahir semangat menyuburkan pers mahasiswa. Perjalanan Majalah Balairung UGM yang sangat terkenal itu, berhulu dari seminar para aktivis pers mahasiswa Fakultas Teknik itu.

Tentu, Airlangga “tertaut” dengan penunjukkan ayahnya, Hartarto Sastrosoenarto, dalam Kabinet Pembangunan IV (1983-1988), sebagai Menteri Perindustrian. Airlangga adalah anak seorang Menteri di kampus Wong Ndeso. Anak Jakarta yang penyabar dan detil dalam memahami sesuatu itu, ternyata aktivis organisasi mahasiswa intra kampus juga.

Sebagaimana hubungan Dirgantoro (Diki) Tarmizi dengan Sang Ayah, Tarmizi Taher, ketika terpilih sebagai Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Minang (IMAMI) Universitas Indonesia. Tentu Airlangga ikut berkomunikasi dan berkorespondensi dengan Hartarto, sosok bersuara bariton yang menekuni industri kimisa dasar itu. Bagi saya, sebagai pengurus sejumlah organisasi mahasiswa, tentu pilihan berkawan dengan Diki minimal bisa makan enak. Mana kuat kantong saya membeli nasi Padang. Lidah sudah akrab dengan Warung Tegal. Rapat di rumah Diki di Jalan Brawijaya, berarti dihidangkan seluruh makanan terenak rasa Minangkabau. Yang menyiapkan, Ibu dari Diki. Pak Tarmizi, selalu menyempatkan pulang, ketika mahasiswa asal UI masih menyantap hidangan, bersalaman, bercanda.

Kemampuan lobbi Airlangga, dalam pemahaman saya, tidak terlepas dari rasa nekatnya juga untuk menembus rantai birokrasi Kementerian Penerangan RI yang dikomandani oleh Harmoko. Tentu tanpa sama sekali menyebut nama belakangnya. Pengetahuan Airlangga yang detil tentang dunia “Atas Langit” Jakarta, jaringan alumni sekolahnya yang rata-rata dihuni anak-anak Menteng yang punya IQ di atas rata-rata anak Jakarta, tentu membawa Airlangga ke arah sosok yang bisa melepas belenggu yang merantai pikiran mahasiswa lewat pers kampus.

Majalah Balairung, buah perjuangan dari banyak nama aktivis mahasiswa. Sejak seminar di FT UGM pada 29 Oktober 1985, wujud majalah ini dipersiapkan. Perdebatan dengan Rektor UGM kala itu, yakni Teuku Jacob yang ahli tentang teknokultur, peduli manusia, tunduh pada alam, piawai melidik masa depan, lihai menjahit lingkungan geostrategis dan geopolitik, dihadapi para aktivis pers mahasiswa dengan membentuk tim khusus.  Bukan tunduk mencatat pergulatan pemikiran ala Socrates sebagaimana murid-murid awalnya – termasuk Plato – di bawah pohon Academia, para aktivis ini bersiap diri beradu argumen.  

Majalah Balairung menyeruak kalangan civitas akademika UGM pada 8 Januari 1986. Segera saja, majalah itu bertebaran di kalangan aktivis mahasiswa perguruan tinggi lain, baik intra atau ekstra, baik dalam bentuk asli, atau fotokopian. Majalah ini menandai musim semi kebangkitan pers mahasiswa lain di banyak kampus.

Universitas Indonesia sendiri, baru berhasil menerbitkan Majalah Suara Mahasiswa, lebih dari 8 tahun sesudah itu. (* Bersambung.)



Indra J Piliang 
Adalah seorang aktivis, pengamat politik yang menempuh pendidikan S1 Ilmu Sejarah dan S2 Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia)

LIPSUS