Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 322)

Jumat, 18 November 2022


Oleh, Dalem Tehang


TIBA-tiba Aris menepuk bahuku. Memberi isyarat, seorang tahanan yang berdiri di belakangku ingin bicara.


“Ada apa, pak?” tanyaku kepada pria berusia 60 tahunan tersebut.


“Tadi, tamping itu ngambil rokok saya. Cuma sebungkus itulah yang dikasih anak pas di pengadilan tadi. Katanya, buat sipir yang jaga,” kata pria bertubuh kurus dengan kulit hitam tersebut. Suaranya memelas.  


Spontan aku keluar barisan. Menuju ke arah tamping regis yang berdiri di ujung lajur barisan belakangku. Tanpa bicara apapun, aku ambil sebungkus rokok yang masih ada di tangannya.


“Eh, om. Main ambil aja,” kata tamping itu, dengan suara kencang. 


Tidak aku hiraukan teriakan tamping regis tersebut. Langsung aku berjalan dan memberikan rokok di tanganku kepada pria yang ada di belakang barisanku. Pemiliknya. Setelahnya, aku kembali ke barisanku. Seakan tidak pernah terjadi apa-apa.


“Kayak mana kalau tamping itu kesini, bang?” tanya Dika, dengan suara pelan.


“Nggak usah berandai-andai, Dika!” jawabku, tegas.


Dan benar saja. Hingga proses pemeriksaan kedua selesai, tamping regis tadi tidak menemuiku. Bahkan ia menghilang dari tempat tugasnya. Masuk ke kantor rutan.


Bak bebek yang tengah diangon, 64 tahanan memasuki area steril. Berbaris rapih dalam tiga lajur. Setelah diabsen, satu persatu kami memasuki pos penjagaan dalam. 


Karena waktu sudah semakin malam, tidak ada lagi pemeriksaan terhadap barang bawaan. Hanya masing-masing diminta “dana sepemahaman” Rp 10.000. 


“Kita gimana, be. Kasih nggak uang sepemahaman itu?” tanya Aris, saat kami akan mendapat giliran memasuki pos penjagaan dalam.


“Kalau kamu mau dan berniat sedekah, ya kasih aja, Ris. Tapi kalau nambah ngegerundel di hati, nggak usah,” sahutku, seraya tersenyum.


“Kalau babe, ngasih nggak nanti?” tanya Aris lagi.


“Nggak, Ris. Susah payah istriku dapetin uang dan nyisihin buatku sampai harus beberapa hari dinas ke luar kota, masak mau ngasihin gitu aja ke orang,” kataku, dengan tegas.


“Cocok aku, be. Kita sama-sama nggak usah kasih uang sepemahaman kalau gitu,” sahut Aris, seraya mengepalkan tangannya.


Saat aku memasuki pos penjagaan dalam, seorang sipir menyapaku dengan ramah. Kami berbincang sesaat, dan setelahnya aku berpamitan untuk langsung ke kamar. Sipir seusia denganku itu, mempersilakan untuk aku segera keluar pos. Tamping yang ada disana, tidak berani menanyakan uang sepemahaman kepadaku.


Sambil tersenyum dan bersyukur di dalam hati, aku melangkah menuju selasar. Untuk kemudian memasuki pintu utama Blok B, dan sampai di kamarku. Rudy langsung menyambut dua kantong plastik yang aku bawa. Memeriksa dan memilahnya. Menyusun rapih di tempat makanan dan pakaian.


“Om mau makan, apa mandi dulu?” tanya Rudy.


“Mandi dulu aja, Rud. Makannya maleman aja ya. Mau langsung isyaan dan baca surah yasin. Ini kan malem Jum’at,” sahutku.  


“O gitu, ya sudah. Rudy tunggu kalau gitu,” tanggap Rudy.


“Kalau kamu sudah laper-laper bener, makan aja duluan, Rud. Cuma jangan makan siomaynya ya. Itu pembelian khusus nyonya,” kataku lagi. 


“Sudah laper sih sebenernya, om. Cuma ya belum laper-laper bener. Masih tahanlah nunggu om selesai solat dan ngaji,” jawab Rudy, seraya tersenyum.


Selepas mandi dan berganti pakaian, aku melanjutkan aktivitas dengan solat Isya disambung membaca surah yasin, surah alwaqi’ah, dan wirid. Beberapa kali Rudy mondar-mandir ke tempatku. Memastikan apakah aku masih mengaji ataukah mendadak tertidur.


Tepat pukul 22.00, aku selesai menjalankan peribadatan. Baru saja aku melipat kain sarung, Rudy telah berdiri di dekatku, sambil mengelus-elus perutnya. Memberitahu bila ia telah laper-laper bener.


Nasi bungkus pemberian adikku Laksa menjadi menu makan malamku. Berlauk daging cincang ditambah telor dadar, membuat timbul nafsu makanku. Rudy menghabiskan catering dari dapur rutan. Seusai makan, kami menikmati buah anggur dan jeruk yang diberikan oleh istriku. 


“Om mau dibuatin kopi nggak?” tanya Rudy.


“Nggak usah, Rud. Mau langsung istirahat aja setelah ngaso sebentar. Nanti pengen bangun, solat tahajud,” jawabku, seraya menghisap sebatang rokok cap Mangga pemberian sipir Almika.


Suasana di luar kamar sel, tampak mulai sunyi. Sesekali saja sipir berkeliling. Melakukan kontrol. Dan berbincang sesaat dengan beberapa penghuni kamar yang masih belum tidur. 


Aku meminta Rudy membantu mengangkat rak di atas tempat tidurku. Mengambil telepon seluler.


“Tumben, malem-malem mau telepon, om,” kata Rudy, sambil mengangkat rak dari sisi kiri dan aku dari sisi kanan.


“Mau WhatsApp nyonya sama anak-anak, Rud. Jam segini, mereka juga pasti sudah tidur. Malahan kaget kalau om telepon,” sahutku.


Dan setelah mengaktifkan telepon seluler, segera aku ketik beberapa kalimat untuk istriku Laksmi dan anakku Bulan serta Halilintar. Cukup lama aku menunggu, kalau-kalau WhatsApp-ku berjawab.


Namun, setelah memastikan belum dibalas saat itu, aku nonaktifkan telepon seluler dan menyimpannya lagi di balik rak panjang tempatku menaruh foto keluarga, Alqur’an, beberapa buku, serta berbagai obat dan vitamin. (bersambung)

LIPSUS