Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 323)

Sabtu, 19 November 2022


Oleh, Dalem Tehang


PADA keheningan malam itu, mendadak terdengar suara hujan cukup kencang dari luar kamar. Membuat suasana rutan yang telah sunyi, menjadi sedikit riuh.


Hantaman air dari langit yang mengenai asbes kamar, seakan musik pengantar tidur. Dan aku pun mengambil selimut. Memulai istirahat.


Kenyenyakanku berakhir. Seakan ada yang membangunkan dari lelap tidurku. Dengan mata yang masih setengah terpejam, ku tatap jam di dinding kamar. Pukul 03.20. 


Dengan melawan kantuk, aku bangkit dan menuju kamar mandi. Wudhu. Dan bermunajat kepada Yang Maha Kuasa, ditemani rintik hujan yang terus bercucuran dari langit. 


Ketika suara adzan Subuh berkumandang, Rudy bangun. Dan langsung mengajakku ke masjid. Dari ujung selasar hingga masjid, kami berlari. Karena hujan rintik belum berhenti. 


Ustadz Umar tersenyum melihat kami memasuki rumah Allah sambil mengibas-kibaskan baju akibat terkena air hujan. 


“Assalamualaikum, ustadz,” sapaku, seraya menyalami ustadz Umar dengan kedua tangan.


“Waalaikum salam. Alhamdulillah, walau gerimis, pak Mario dan Rudy tetep bisa berjamaah,” sahut ustadz yang selalu berpenampilan tenang itu.


“Alhamdulillah, ustadz. Kalau om Mario, emang dari jam 3-an sudah i’tikaf di kamar. Rudy yang baru bangun pas denger suara adzan,” kata Rudy, sambil tersenyum.


“O gitu. Bersyukur kepada Allah, selalu dikasih nikmat beribadah ya. Makin banyak bersyukur, makin terasa dekat kita dengan Yang Maha Segalanya,” ucap ustadz Umar, dan menebar senyum teduhnya.


Solat Subuh berjamaah yang diikuti sekitar 50-an orang itu berlangsung penuh kekhusu’an. Dilanjutkan dengan kultum oleh ustadz Umar.


“Menjadi baik itu, gampang. Berdiam saja, bisa terlihat baik. Namun, menjadi bermanfaat yang susah. Karena butuh perjuangan, lelah, capek, direndahkan, disepelekan, bahkan diabaikan. Tapi, justru disitulah kita diuji untuk memberi manfaat bagi sesama. Sebab, sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk sesamanya,” kata ustadz Umar, memulai tausiyah.


Meski demikian, untuk menjadi pribadi yang bermanfaat, lanjut ustadz Umar, harus dimulai dengan belajar menjadi sosok yang diam. 


Yakni, diam untuk tidak mencampuri urusan orang lain, diam untuk tidak mengungkit masa lalu orang lain, diam untuk tidak menceritakan keburukan orang lain, juga diam untuk tidak berdebat dengan orang lain.   


“Dan tidak perlu membuang waktu untuk orang-orang yang dapat meracuni hati dan pikiran kita,” imbuhnya.


Menurut ustadz Umar, hidup itu bagaikan daun yang hanyut di sungai. Daun itu adalah kita, dan sungai adalah takdir. Janganlah banyak harap, karena harap kita tidak akan merubah takdir. Semakin banyak harap dan angan, hidup akan kian sumpek, takut kehilangan, takut tidak kesampaian, dan takut didahului orang lain. 


“Janganlah takut dengan kesulitan, sebab kesulitan akan menguatkan hati, membulatkan tekad, mengangkat kedudukan dan memunculkan kesabaran. Tetaplah tegar dengan keimanan dan terus senandungkan doa demi kebaikan hidup ke depan. Dari penjara ini kita sama-sama berjuang menjadi insan kamil,” tambah ustadz Umar dengan suara menggebu-gebu.


Menguatkan kultumnya pagi itu, ustadz Umar mengurai tentang delapan jalan rejeki yang diberikan Allah untuk seluruh hamba-Nya.  


“Yang pertama, rejeki itu sudah dijamin Allah. Baca Alqur’an surah Al-Hud ayat 6. Ada rejeki karena menikah. Allah menyampaikanya di dalam surah An-Nur ayat 32. Allah juga menyiapkan rejeki tidak terduga, baca di surah At-Talaq ayat 2-3,” urai ustadz Umar. 


Ditambahkan, Allah juga menyediakan rejeki karena hamba-Nya usaha, seperti yang ada di dalam surah An-Najm ayat 39. Rejeki karena bersyukur pun disiapkan oleh Allah, di surah Ibrahim ayat 7. 


“Tidak hanya itu. Bagi yang membaca istighfar, Allah menyediakan rejeki juga. Ada di surah An-Nuh ayat 10-12. Pun rejeki untuk orang-orang yang suka bersedekah, ada pada surah Al-Baqarah ayat 245. Dan rejeki karena anak, juga telah disiapkan Allah seperti yang ada di dalam surah Al-Isra ayat 31,” lanjutnya dengan panjang lebar. 


Dengan adanya delapan jalan rejeki tersebut, menurut ustadz Umar, tidak ada alasan sama sekali bagi seorang muslim untuk takut kekurangan. Meski harus tetap disadari, bahwa Allah memberikan rejeki sesuai dengan kebutuhan, bukan keinginan hamba-Nya.


“Setiap dari kita telah mendapatkan jatah rejeki dari Allah, sesuai kebutuhan dan porsinya. Maka, jangan pernah membandingkan atau iri dengan isi cangkir yang orang lain miliki. Dan yang pasti, Allah memberi kecukupan kepada mereka-mereka yang tidak diperbudak oleh keinginan,” tutur ustadz Umar lagi. 


Ia mengajak semua jamaah untuk memahami dengan hati bersih dan pikiran jernih, bahwa apapun yang didapatkan hari ini adalah hasil dari apa yang dilakukan pada hari-hari kemarin. Kemudahan. Kesulitan. Ujian.   


“Apa yang kita lakukan hari ini, pasti akan menjadi sesuatu nantinya. Ya tetap berupa kemudahan. Kesulitan. Ujian. Karena itulah hakekat kehidupan di dunia,” jelasnya.


Menutup kultumnya, ustadz Umar menyampaikan, setiap matahari terbenam mengurangi satu hari kehidupan, namun setiap matahari terbit, memberikan kita satu hari lagi untuk berharap. Dan hadirnya malam, hendaknya mengingatkan kita bila hidup tidak selamanya terang. Ada gelap, pekat, duka, dan sunyi.   


Seusai mendengarkan kultum ustadz Umar, kami kembali ke kamar. Rudy langsung menyiapkan minuman kopi pahit untukku, yang tengah melepaskan seprai kasur, juga sarung bantal dan guling. 


Dan ketika matahari mulai menunjukkan panasnya, ku jemur peralatan tidurku tersebut. Hal itu selalu aku lakukan satu pekan sekali, setiap hari Jum’at. Selepas dijemur, aku memasangkan seprai baru, pun sarung bantal dan gulingnya. (bersambung) 

LIPSUS