Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 447)

INILAMPUNG
Kamis, 23 Maret 2023


Oleh, Dalem Tehang


KENAPA kamu dari tadi diem aja, Guh?” tanya kap Yasin kepada tahanan kasus narkoba yang duduk bersandar tembok. 


“Lagi ngerenungi omongan ibuku di kampung, kap. Sejak sipir Mirwan tadi dateng, terus ngobrol sama ayah dan akhirnya kita ditraktir sate lontong, keinget lagi apa yang pernah ibuku sampein dulu,” sahut Teguh.


“Emang apa omongan ibumu?” tanya kap Yasin lagi.


“Ibuku cerita, ada seorang ulama besar yang pernah kasih pesen sama para santrinya. Nama ulama itu Imam Syuqran. Beliau bilang, siapa yang bertawakkal, ia akan merasa kaya. Yang ninggalin tawakkal, akan kelelahan. Siapa yang bersyukur, akan dicukupi, yang ridho akan diselametin. Gara-gara kejadian tadi itu, gitu baiknya sipir Mirwan sama kita berkat kedekatannya sama ayah, aku nyadar kalau omongan ibuku ngutip pesen ulama besar itu, bener,” tutur Teguh. 


“Benernya dimananya?” pak Ramdan menyela.


“Karena kita terus diingetin pak Waras buat bersyukur dan ridho atau ikhlas sama takdir ini, akhirnya ada aja yang kasih kita kecukupan makan dan diselametin dari kelaperan,” jelas Teguh.


“Ternyata, kamu selama ini diem-diem nyimak dan jalani petuah pak Waras ya, Guh. Salut aku sama kamu ini,” kata Anton, menimpali.


“Santai aja dong, Anton. Kita kan pernah diingetin juga sama pak Waras, nggak usah banyak omong, biar hati kita lembut. Banyaklah diem biar kita bisa hati-hati sama barang atau perkara yang haram, dan jangan kebesaran ambisi terhadap dunia. Jadi, kalau aku banyak diem, ya sesuai pesen pak Waras itulah, suhu kita,” tanggap Teguh. Kali ini ada senyum tipis di sudut bibirnya.


“Aku seneng tinggal di kamar ini. Nyatu sama kawan-kawan yang pinter tapi nggak minteri, yang nerimo tapi nggak rendah diri, dan sabar untuk saling ngejaga hati,” kata kap Yasin, beberapa saat kemudian.


“Semua kan nggak lepas dari kepemimpinan kap-lah. Kap itu yang pinter ngebuat kami nyatu. Ngebuang semua ego masing-masing, makanya kita bisa guyub dan rukun,” ujar Anton dengan cepat. 


“Bener yang dibilang Anton itu, kap. Kita semua jadi ngerasa kayak keluarga karena gaya kap mimpin yang pas. Coba kamar-kamar lain, sering bener mereka ribut. Bahkan, ada kap kamarnya yang dikeroyok. Kelenturan kap ngejaga kebersamaan kami semua dari latar belakang beragam inilah sebenernya kunci nyamannya kita di kamar ini,” pak Ramdan menimpali.


Waktu terus bergulir, rasa kantuk mulai mengajakku untuk tidur. Namun melihat aku akan bergeser, Teguh mengingatkan akan adanya kiriman sate lontong yang dibelikan oleh sipir Mirwan.


“Yang buatku nanti taruh di rak atas tempat tidurku aja ya, Guh. Kayaknya sudah nggak ketahan lagi ngantuknya ini,” kataku, dan bergerak menuju bidang tempat tidur.


Beberapa saat kemudian, aku telah lelap dalam tidur yang tetap saja tanpa mimpi. Sesekali aku terbangun karena mendengar suara kawan-kawan yang masih bercengkrama di ruang depan, namun aku memilih untuk kembali tidur. 


Rasa kantuk yang menggelayut di mataku, begitu berat untuk ditepis. Hingga akhirnya aku dibangunkan oleh pak Ramdan saat suara adzan Subuh terdengar dari masjid.  


Selepas solat berjamaah, ku buka bungkusan sate lontong yang ada di rak atas tempatku tidur. Nikmat memang makanan ini. Sesuai dengan harganya. Rp 50.000 perbungkusnya.


Pak Waras mengajakku dan pak Ramdan untuk jogging. Aku berteriak, memanggil tamping kunci. Sekitar 10 menit kemudian, ia datang dan langsung membuka gembok besar yang sudah berkarat menempel di pintu kamar. Barulah kami bertiga bisa keluar. 


“Om, minta rokoknya sih, habis sarapan tadi maka agak lama bukain pintu kamarnya,” kata tamping itu sambil menatapku.


Aku keluarkan sebatang rokok cap Mangga dari kantong training, dan ku berikan kepada tamping tersebut.


“Rokok apa ini, om. Enak nggak,” celetuk tamping itu.


“Ya itu rokokku. Kalau mau, ambil. Kalau nggak mau, sini balikin,” ujarku.


“Nggak apa-apa om. Cuma heran aja, kok om ngerokoknya ginian,” kata tamping itu, sambil tertawa cengengesan.


“Emang kenapa nurut kamu rokok ini?” tanyaku, sedikit tersinggung.


“Ya aneh aja sih, om. Baru ini aku tahu ada rokok cap Mangga,” lanjut tamping berusia 20 tahunan tersebut.


“Nggak usah banyak omong, sudah dikasih masih pakai protes. Aku jitak kepalamu nanti,” sergah pak Ramdan, sambil memegang bahu tamping kunci.


“Maaf, pak. Aku bercandaan aja kok sama om Mario. Jangan marahan gini dong,” kata tamping kunci menatap pak Ramdan.


“Ya udah sana. Nggak usah banyak omong. Aku nggak marah, cuma pengen ngeremet mulut kamu yang comel itu,” ketus pak Ramdan, dengan nada mulai meninggi.


Pak Waras menarik tangan pak Ramdan untuk meneruskan langkah keluar dari pintu utama Blok B menuju lapangan. Aku mengikuti langkah keduanya dengan berjalan santai.


Baru kami bertiga yang berjalan di lapangan. Hawa pagi masih diselimuti nuansa dingin, meski sinar mentari telah tampak di ufuk timur. Kali ini, kami melakukan olahraga tanpa ada yang saling bicara. Masing-masing terbawa dengan pikirannya. Acapkali, peristiwa yang tidak terduga memang bisa membuat kita kehilangan gairah untuk bercengkrama dan bercanda.


Seusai 15 kali berjalan pelan mengitari lapangan, kami beristirahat di tepian selasar. Aku menuju kantin, membeli tiga botol air mineral. Ketika kami tengah menikmati minuman pelepas dahaga setelah jogging, sipir Almika yang telah menyelesaikan tugasnya, mendekat.


“Om, sudah siap dibawa pulang air doanya?” tanya dia.


“O iya, Mika. Sudah. Om ambil dulu ya,” sahutku.


Dengan setengah berlari, aku kembali ke kamar untuk mengambil tiga botol air mineral yang telah ku doakan khusus untuk anakku Bulan dan Halilintar, serta satu botol lainnya untuk istriku, Laksmi.


Sekira 10 menit kemudian aku telah kembali ke tempat semula. Tiga botol air mineral yang sudah dimasukkan ke dalam kantong plastik, langsung aku serahkan kepada sipir Almika.


“Tolong anter ke rumah dan terimakasih bantuannya ya, Mika,” ucapku dengan sungguh-sungguh.


“Siap, om. Sama-sama. Mika pamit dulu ya, mau ganti petugas jaga,” sahut Almika, dan setelahnya langsung berjalan menuju pelataran di depan kantor rutan untuk apel sipir. 


“Untung ada pak Almika ya, om. Jadi kepengennya anak-anak dapet kiriman air doa, bisa terwujud,” kata pak Ramdan dengan pelan. 


“Yang Di Langit sudah ngatur semuanya, pak. Kita cuma sebatas ikhtiar aja. Alhamdulillah, terus dikasih kemudahan,” jawabku. Enteng. 


“Yang penting kita semua terus bersyukur atas apapun yang kita alami, pak. Nggak usah ngeluh, juga nggak perlu kecil hati. Nikmati aja yang ada dengan keyakinan, inilah takdir terbaik buat kita saat ini,” kata pak Waras.


“Aku belakangan sih nggak pernah ngeluh lagi, pak. Malu sama diri sendiri. Kalau kita terus nelongso, gimana mau punya semangat buat perbaiki diri, gitu nurutku,” jawab pak Ramdan. 


“Nah, cocok itu, pak. Emang cuma diri kita sendiri yang bisa nyemangati jiwa dan pikiran kita. Orang lain bisanya sampai ke kasih nasihat. Aku seneng kalau kita makin tawadhu, makin sabar, makin ikhlas. Hidup di bui sekalipun, tetep kita bisa rasain ketenangan,” tutur pak Waras lagi. (bersambung)

LIPSUS